INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Pada 9 Oktober 2025, dunia memperingati ulang tahun ke-85 John Lennon. Delapan puluh lima tahun setelah kelahirannya di Liverpool, nama Lennon tetap hidup sebagai simbol keberanian, kreativitas, dan mimpi akan dunia yang lebih damai. Ia bukan sekadar musisi, melainkan pemikir yang memadukan seni dan gagasan menjadi kekuatan perubahan sosial.

John Winston Lennon lahir pada masa perang, dalam keluarga yang berantakan. Ia tumbuh bersama bibinya, Mimi, sambil memendam kerinduan pada sosok ibu yang jarang ditemuinya. Dari latar yang getir itulah muncul jiwa yang peka, penuh tanya, dan tidak mudah percaya pada kemapanan. Musik menjadi pelarian, sekaligus cara bagi Lennon untuk memahami dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.

Ketika membentuk The Quarrymen di akhir 1950-an, Lennon hanya seorang remaja yang ingin bermain musik. Tak ada yang tahu bahwa band kecil itu akan berevolusi menjadi The Beatles — fenomena global yang mengubah wajah budaya populer selamanya. Bersama Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr, Lennon melahirkan era baru musik yang bukan hanya menghibur, tapi juga mencerdaskan dan membebaskan.

Sebagai bagian dari The Beatles, Lennon dikenal paling berani bereksperimen. Ia mendorong grupnya keluar dari zona nyaman pop konvensional menuju wilayah psikedelik, spiritual, dan bahkan eksistensial. Lagu-lagu seperti Strawberry Fields Forever, A Day in the Life, atau Tomorrow Never Knows memperlihatkan imajinasinya yang liar sekaligus reflektif. Ia menulis lirik dengan kejujuran brutal — tentang kesepian, makna hidup, dan pencarian jati diri. Lennon bukan hanya menulis lagu, tetapi juga membuka ruang dialog antara musik dan kesadaran manusia.

Baca juga: Saat Led Zeppelin ‘Mencuri’ Teknik Rekaman The Beatles

Setelah The Beatles bubar pada 1970, Lennon tidak kehilangan arah. Ia justru menemukan panggilannya yang lebih personal: menjadi suara bagi perdamaian dan kemanusiaan. Melalui karya solonya, Lennon memadukan musik dengan manifesto hidup. Lagu Imagine menjadi puncak dari perjalanan itu — sebuah doa sederhana namun universal: membayangkan dunia tanpa perang, tanpa kepemilikan, tanpa sekat agama dan negara. “You may say I’m a dreamer,” tulisnya, “but I’m not the only one.” Kalimat itu kemudian menjelma menjadi semacam semboyan global bagi mereka yang percaya pada harapan.

Lennon juga tak takut berhadapan dengan kekuasaan. Ia menentang perang Vietnam, menolak kekerasan, dan menggunakan ketenarannya sebagai alat perlawanan yang damai. Bersama Yoko Ono, ia menggelar aksi Bed-In for Peace, berbaring di ranjang hotel sambil mengundang media untuk berbicara tentang perdamaian. Aksi itu mungkin tampak aneh, tapi justru menunjukkan bahwa protes bisa dilakukan dengan cinta dan ironi, bukan dengan amarah.

Dalam karya-karya solonya, Lennon menunjukkan sisi manusia yang rapuh dan jujur. Album John Lennon/Plastic Ono Band menelanjangi traumanya — kehilangan ibu, kekecewaan terhadap agama, hingga kegelisahan spiritual. Lagu God dengan tegas menyatakan ketidakpercayaannya pada mitos, sambil menyisakan satu keyakinan yang paling tulus: “I just believe in me.” Dari situ terlihat bahwa Lennon bukan antiagama, melainkan sedang mencari Tuhan dalam dirinya sendiri.

Meski hidupnya berakhir tragis pada 8 Desember 1980, warisan Lennon terus hidup. Ia mengubah cara dunia memandang musik: dari hiburan menjadi refleksi; dari konser menjadi pernyataan; dari lagu menjadi gerakan. Setiap kali Imagine dimainkan, seolah dunia berhenti sejenak untuk merenung tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini.

Kini, pada usia ke-85, Lennon tidak lagi hanya dikenang sebagai mantan personel The Beatles, tetapi sebagai seorang pemimpi yang berani mengguncang dunia dengan kata dan nada. Di tengah dunia yang masih penuh kekerasan dan kebencian, pesan Lennon terasa lebih relevan dari sebelumnya. Ia mengajarkan bahwa bermimpi bukanlah kelemahan, melainkan bentuk perlawanan yang paling manusiawi.

John Lennon pernah berkata, “A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.”
Mungkin inilah warisan terbesarnya: keyakinan bahwa perubahan selalu berawal dari imajinasi — dan bahwa mimpi bersama bisa membuat dunia sedikit lebih waras.

Author