Bagi saya, Sholihin bukan semata perupa. Ia adalah sebuah ide yang hidup, yang bisa berkembang dan menular ke banyak bentuk seni, bahkan melampaui kanvas, ruang museum, atau dinding galeri.
Oleh: Novyandi Saputra
Saya hadir di forum “Seabad Gusti Sholihin Hasan” bukan sebagai penonton yang ingin tahu tentang sejarah seni rupa, melainkan sebagai seseorang yang sedang bertanya: bagaimana cara terbaik untuk merayakan usia seabad seorang seniman?
Saya tidak datang membawa pengetahuan tentang gaya lukis Sholihin, atau hafalan tentang katalog karyanya. Saya datang dengan pikiran terbuka dan rasa ingin tahu—siapa sebenarnya Sholihin hari ini, seratus tahun setelah ia dilahirkan?
Bagi saya, Sholihin bukan semata perupa. Ia adalah sebuah ide yang hidup, yang bisa berkembang dan menular ke banyak bentuk seni, bahkan melampaui kanvas, ruang museum, atau dinding galeri.
Melihat Sholihin sebagai Gagasan
Ketika kita berbicara tentang seniman besar, kita sering kali berhenti pada warisan karyanya. Kita hitung lukisannya, kita teliti gayanya, kita catat pamerannya. Namun dalam kasus Sholihin, saya ingin mengajak untuk tidak berhenti di sana. Karena apa yang paling penting dari seorang seniman bukan hanya apa yang ia buat, tapi bagaimana ia berpikir, dan bagaimana pikirannya bisa menjadi sumber gagasan baru.
Sholihin hidup di masa yang penuh gejolak. Ia berada di tengah situasi pasca-kolonial, ketika Indonesia sedang membangun identitasnya sendiri, dan para seniman berjuang menemukan arah di tengah perubahan dunia. Dalam konteks itu, Sholihin hadir bukan hanya sebagai individu pembuat karya, tetapi sebagai tubuh yang menampung zaman, dan gagasan yang bisa diterjemahkan ulang oleh generasi setelahnya.
Dari Sosok Menjadi Suara
Sebagai seniman yang berkarya di bidang yang berbeda dengan sholihin, saya tidak ingin mengenang Sholihin sebagai lukisan. Saya ingin membayangkannya sebagai suara, ritme, gerak, atau bahkan diam yang mengganggu. Saya ingin menjadikan Sholihin sebagai bagian dari tubuh ketika tampil di panggung. Sebagai pertanyaan dalam dialog. Sebagai tekstur dalam komposisi bunyi. Sebagai cahaya dalam tata panggung.
Sholihin, dalam pengertian ini, adalah sumber penciptaan lintas disiplin. Ia tidak selesai di medium visual. Ia bisa dihidupkan kembali dalam bentuk-bentuk seni lain tanpa harus mengutip lukisannya, tanpa harus menjiplak sejarahnya. Cukup dengan menangkap semangat, konteks, dan keberaniannya sebagai seorang manusia yang mencipta di zaman yang kompleks.
Menghidupkan Lagi, Bukan Mengarsipkan
Seratus tahun usia bukanlah akhir. Ini seharusnya bukan momen untuk menutup, tetapi untuk membuka. Dalam perayaan “Seabad Sholihin,” saya tidak ingin menjadikannya figur yang beku dalam sejarah seni. Justru sebaliknya, saya ingin menjadikannya cahaya yang lentur, yang bisa menuntun generasi muda untuk terus bertanya, mencari, dan mencipta.
Saya membayangkan proyek seni lintas medium yang tidak memakai karya Sholihin, tetapi memakai cara berpikir tentang Sholihin. Pertunjukan teater yang berangkat dari imajinasi tentang pengembaraannya. Komposisi musik yang mengekspresikan relasi dirinya dengan dunia. Gerak tari yang menafsirkan kesendirian, pertemuan, dan kemerdekaan dalam hidupnya. Sholihin tidak perlu dikembalikan ke masa lalu. Ia bisa dibawa ke depan.
Sholihin Adalah Sebuah Ajakan
Bagi saya, Sholihin adalah ajakan untuk berpikir terbuka. Untuk menjelajahi gagasan, melintasi batas medium, dan menciptakan ulang hubungan kita dengan sejarah. Ia bukan simbol masa lalu, tetapi jembatan menuju kemungkinan baru dalam seni.
Menjadikan Sholihin sebagai gagasan berarti menjadikannya milik bersama. Ia bisa hadir dalam karya siapa pun yang berani mengolah ide, merespons zaman, dan mencipta sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Dan mungkin, itulah cara terbaik untuk merayakan seorang seniman. Bukan dengan menyimpannya dalam museum, tapi dengan membiarkannya hidup dalam karya-karya yang akan datang.
*
Penulis adalah Milanisti, Komposer di Gamalan Akaracita, & Dosen Universitas Lambung Mangkurat.