INTERAKSI.CO, Batulicin – Primitive Monkey Noose adalah band rock dengan dentuman paling kencang dari tenggara Kalimantan dalam dua tahun terakhir.

Band yang dibentuk di Batulicin ini merilis mini album perdananya Anthem of South Borneo pada Maret 2022. Di album ini Primitive Monkey Noose berkolaborasi dengan Sony Music.

Mereka kemudian merilis single Tuah Tanah Borneo pada Januari 2023 dengan menawarkan musikalitas yang jauh lebih matang dibanding pada karya-karya awalnya.  Album Waja Sampai Kaputing pun menyusul pada Agustus 2023. Di album ini mereka sudah tak bekerja sama dengan Sony Music. Label Demajors jadi rumah baru mereka.

Sejak awal kemunculannya, Primitive Monkey Noose aktif menggelar tur, menginisiasi pergerakan musik, dan mengikuti beberapa festival. Tapi jangan salah. Festival yang dimaksud bukanlah lomba atau kompetisi, tetapi pergelaran musik. Salah satu yang paling mencolok adalah saat mereka menjadi penampil di Synchronize Festival pada akhir 2023 lalu.

Segala pencapaian yang mereka dapatkan sejauh ini tak lepas dari kontribusi sang frontman: Richie Petroza, seorang musisi ideologis, politisi, sekaligus tokoh pergerakan musik yang sangat berpengaruh di Kalimantan Selatan. Dia tak sekadar menjadi penulis lagu, tetapi karya yang dia buat dibangun berdasarkan argumentasi yang kuat.

Selain Richie, personel lainnya; Oveck Arsya (lead guitar), Ridho (rythm guitar), Wan Arif (panting), Deni Sumaryono (bass), dan Juli Yusman (drumm), juga ikut memberikan kontribusi yang tidak sedikit, dan membuat karya-karya Primitive Monkey Noose punya banyak warna. Sejauh ini, musikalitas mereka jempolan.

Kepada interaksi.co, vokalis sekaligus kapten Primitive Monkey Noose, Richie Pertroza, menjawab sejumlah pertanyaan soal sosial, budaya, dan politik secara lebih mendalam.

Richie menyambut pertanyaan-pertanyaan itu dalam hitungan menit! Dia menjawabnya dengan blak-blakan, menggelitik, sekaligus menunjukkan tingkat kecerdasannya sebagai musisi. Pada kesempatan ini dia juga mengungkap rencana-rencana bersama Primitive Monkey Noose pada tahun 2024. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana rasanya menjadi musisi Tanah Bumbu pertama yang tampil di Synchronize Festival tahun lalu?

Bagi saya pribadi, sebenarnya, sih, biasa aja.  Karena ini hanyalah proses yang memang harus dilewati dalam bermusik. Milestone sebuah band. Selayaknya sebuah band, ya, begitu. Berkarya, rilis, lalu presentasikan karyanya.

Bisa diapresiasi oleh pihak lain, artinya karya kita mendapatkan pengakuan. Walaupun niatnya bikin karya bukanlah hanya tentang pengakuan. Karya yang kami buat sebenarnya lebih personal. Kami suka, kami lakukan, kalau nggak suka, ya, ditinggalkan. Sesederhana itu.

Bagaimana Richie Petroza memandang Tanah Bumbu sejauh ini? Dari perspektif budaya maupun politik.

Selama satu dekade, budaya dan politik di Tanah Bumbu belum menemukan identitasnya. Padahal wilayah ini memiliki potensi. Secara budaya, belum telihat upaya-upaya signifikan atau effort yang lebih serius dan konsisten dalam menggali potensi hingga dukungan terhadapnya.

Secara politik, jika diistilahkan sebagai manusia, peta politik di Tanah Bumbu seperti mengalami proses pendewasaan. Saat ini masih “puber”. Selayaknya anak yang di “masa puber” beberapa hal terlihat konyol.  Dan hal seperti ini, sepertinya juga terjadi di wilayah-wilayah berkembang lainnya.

Kenapa di setiap album selalu mengcover karya Fadly Zour?

Bagi saya ini bukanlah pertanyaan, tapi memang sebuah keharusan bagi musisi lokal untuk mengapresiasi karya-karya musisi legenda di daerahnya. Memperkenalkan kembali dan merekontruksi ulang adalah bagian dari apresiasi dan menghargai karya itu sesuai dengan karakternya masing-masing.

Mengapa karya Fadly Zour? Sejauh ini karya beliau yang memiliki karakter kuat, baik secara karya maupun personal. Pun jika ada yang lainnya, suatu saat juga akan kami temukan dan mainkan dalam ranah terbarukan.

Apa saja rencana tahun 2024?

Tahun ini kami berencana merilis boxset, berisikan dua mini album “Anthem of South Borneo” dan “Waja Sampai Kaputing”,

Kemudian, merilis format CD, dua mini album format kaset, ⁠t-shirt, poster, ⁠stiker, dan beberapa merch lainnya.

Selanjutnya mau bikin gigs dgn konsep tur ke sekolah-sekolah, “School of Rock”, berisikan materi pelatihan beragam soft skill diberbagai bidang kreatif, seperti desain, foto, editing video, jurnalistik dll.

Juga persiapan merekam beberapa materi lagu untuk album/mini album ketiga dan persiapan bikin video clip “Kada Kawa Kawan Ae”.

Kesemua projek di atas akan kami lakukan dengan catatan kalau lagi nggak males! haha…

PMN bersedia kalau diundang jadi band wedding?

Hanya dua hal yang membuat kami melakukanya; kami suka dan nggak lagi malas.

Kedua, dibayar dengan sangat mahal (tertawa). Point kedua ini saya serius, karena untuk menghidupi band ini butuh modal finasial yang besar. (tertawa lagi).

Apakah di album ketiga nanti PMN masih akan mengusung gaya musik yang sama?

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab melalui karya-karya selanjutnya yang akan dirilis. Silahkan nilai sendiri. Yang jelas, masalah kami hanyalah berusaha berkarya dengan sejujurnya, sekenanya kami, sebisanya kita. Kalaupun ada yang suka atau nggak suka dengan karya yang kami rilis, itu bukan masalah kami. Itu masalah dia dan keluarganya.

Bagaimana kalau sesekali PMN membuat musik pop?

Pop? Punk is the new Pop! bahkan kadang kami malu mengakui kalo kami memainkan musik punk! Musik yang kami bawakan adalah musik yang telah populer dasawarsa ini. Siapa sih yang tidak mengenal musisi rock atau punk saat ini? you name it!

Secara genre, hampir semua orang bisa menerima musik seperti ini. Musik bagi kami hanyalah media, menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan. Kalau ditelaah lagi, PMN itu nggak punk-punk banget. Dia hanyalah band bapak-bapak gabut dan pemarah, yang suka bersenang-senang.

Mungkin saja, apa yang dilakukan PMN adalah antitesa dari stigma musik punk saat ini. PMN memilih jalan yang tak akan dilakukan band punk lainnya. Kami menjadi minoritas di mayoritas band punk kebanyakan.

Apa pandangan Anda terkait skena musik Tanah Bumbu dan Kalimantan Selatan hari ini?

Sepertinya musik di Tanah Bumbu sudah menggeliat sejak era-2000-an. Banyak yang terjadi di saat itu. Namun, satu dekade terakhir ini, mungkin lebih terasa pergerakannya, karena adanya upaya pendokumentasian dan kesadaran yang lebih dalam bermusik. Ditambah, banyaknya platform yang bisa digunakan untuk mendistribusikan dan mempromosikan karya. Ini menjadi nilai lebih.

Bicara skena, juga harus berbicara wawasan, baik dari musisi maupun penikmatnya. Tanah Bumbu saat ini sedang menggeliat kembali. Ini tidak lepas dari banyaknya warga lokal yang kembali ke Tanah Bumbu setelah merantau dan mendapatkan cakrawala lebih luas dan memberikan perspektif baru bagi daerahnya. Walaupun populasi yang seperti ini masih belum mendominasi.

Saat ini masih kalah dengan “generasi koplo”, yang lahir dari FYP Tiktok. Nggak apa-apa juga sih. Lagipula semua butuh proses.

Yang muda alay. Yang tua masih lebay. Cocok!

Hal apa saja yang perlu dilakukan agar skena musik di Tanah Bumbu dan Kalsel bisa maju?

Pertanyaan jebakan ini (tertawa). Nggak dijawab dikira nggak peduli, dijawab dikira sok tau (tertawa lagi).

Bisa banget, karena kita punya potensi yang tidak dimiliki wilayah lain. Perluas wawasan, literasi dan pengetahuan. Lalu mulai lakukan apa yang kita suka. Gitu aja dulu, urusan lain belakangan.

Kalau mau lebih serius, berkumpul dulu aja mereka yang memiliki kesamaan visi dan sefrekwensi. Do something.

Apakah peran pemerintah daerah diperlukan?

Kalau mau jawaban keren, ya, nggak perlu. Terapkan etos D.I.Y. (Do It Your Self).

Tapi, faktanya kira hidup di daerah yang populasinya nggak seberapa. Dari sekian ratus ribu warga, mungkin hanya nol sekian persen saja yang melek terhadap pergerakan musik ini. Dan itupun memiliki visi dan referensi yang berbeda. Sudah pelakunya sedikit, nggak nyatu pula. Kan repot.

Pemerintah? Anggap aja antara ada dan tiada, kalau ada dukungan, ya, digunakan. Kalau nggak ada, ya, lupakan.

Siapa musisi Banua yang paling layak menjadi kompetitor PMN?

Kompetitor? Demi apapun juga, PMN tidak menganggap siapapun juga sebagai kompetitor.

Banyak band yang lebih baik daripada kami, karya-karya luar biasa, energi yang berlimpah, dan karakter musisi/band yang lebih kuat daripada PMN. Kami anggap mereka semua adalah teman seperjuangan. Berjuang melawan atas ketidak sesuaian dengan versinya masing-masing.

Sekarang kita bicara politik. Seberapa penting politik bagi PMN?

Penting nggak penting. Kadang juga kami lupakan dan cenderung nggak peduli. Namun di suatu waktu atau soal tertentu, kita membicarakannya.

Bagaimanapun juga, jika berada di ranah musik rock dan (apalagi) punk, kita tak akan lepas dari “politik”. Punk terlahir dari pergerakan politik, setidaknya menurut saya.

Kita akan menghabiskan berjuta kata dan kalimat jika perihal ini diteruskan. Saya cukupkan sampai di sini dulu saja.

Apakah dalam membangun dan membesarkan PMN selama ini, Anda menggunakan strategi politik tertentu?

Bagi sebagian orang, politik itu adalah cara untuk meraih kekuasaan. Bagi kebanyakan orang di Tanah Bumbu khususnya, politik itu hanyalah sampai di titik soal kekuasaan dan berpolitik praktis. Masih dalam tahap itu. Maklum, umur pemerintahan Tanah Bumbu baru menginjak empat periode. Wajar aja, masih kanak-kanak. Saya pribadi, belum melihat adanya sikap politik yang lebih bernurani.

Bagaimana pandangan personel-personel lainnya tentang politik? (Ada yang melek politik atau bodo amat?)

Harus dipisahkan dulu pengertian politik yang dimaksud. Jika politik bisa dikategorikan sebuah pergerakan, maka bisa dibilang PMN sangat politis. Jika hanya sebatas politik praktis, PMN sangat bodo amat perihal itu.

Apakah pernah ada personel yang komplain tentang tema-tema politik di lagu-lagu PMN?

Secara eksplisit, tidak ada tema politik, baik di musik dan lagu. Karena lirik PMN multitafsir. Jika diartikan secara sederhana, dia akan menjadi biasa saja. Jika diartikan lebih mendalam, dia akan terlihat lebih kelam. Terserah kalian, perspektifnya seperti apa.

Yang jelas, PMN melakukan apapun diawali dengan niat bersenang-senang. Kami suka dilakukan, nggak suka, ya, ditinggalkan.

Atau ada personel PMN yang secara politik berseberangan dengan Anda?

Kalau berpolitik praktis, nggak ada yang peduli. Pandangan politik secara praktis kami tidak terlalu membicarakan hal-hal receh seperti itu. Pun dibicarakan lebih kepada becandaan belaka. PMN bukan band yang berpolitik secara praktis.

Siapa musisi paling politis pilihan Anda (dalam dan luar negeri)? Dan apa alasannya…

Musisi politis pilihan saya? hmm, ini politis dalam pengertian saya pribadi. Ya, secara lirikal ada Radiohead, Atari Teenage Riot, Mindless Self Indulgence, Black Label Society, R.A.T.M, dan banyak lagi sih, yang menurut saya liriknya saya artikan mengandung pengertian politis.

Kalau dalam negeri, saya akan secara serampangan mengatakan bahwa Senyawa  dan Zoo sangat politis.

Gimana tidak, mereka membangun peradaban baru yang lebih ideal menurut mereka, ini tercipta hasil dari kekecewaan terhadap peradaban yang ada saat ini, setidaknya ini penafsiran terhadap narasi karya-karya mereka. Ini lebih politis daripada band-band/duo yang menggunakan lirik politik di karya mereka.

Lokal lainnya, ya, banyak lagi juga, sih. Sebut saja yang paling mudah; Homicide-walaupun terlihat hanya dalam lirik eksplisit-, namun cukuplah menurut saya. Banyak lagi sih, kalo lokal, bahkan lirik Rhoma Irama saja menurut saya juga politis. Haha.

Coba gambarkan situasi politik Tanah Bumbu dan Kalsel dalam tiga kata….

Pubertas, Komedi, Menarik!

Sebentar lagi Pilkada digelar. Anda ingin Tanah Bumbu dan Kalsel punya kepala daerah seperti apa?

Ini pertanyaan yang sulit (tertawa). Saya jawab dengan narasi naif saja: jujur dan amanah (tertawa lagi).

Sejauh mana dukungan pemerintah kepada para seniman/musisi lokal?

Sejauh mana proposal yang diajukan diterima. Menyedihkan.

Belum ada program-program yang komprehensif dan konsisten dalam menangani hal-hal seperti ini. Sejauh ini hanya sebatas dukungan finansial belaka. Itupun bagi yang mengajukan. Yang kita butuhkan adalah, integrated community development (ICD). Lebih lanjut perihal ini bisa kita bahas lebih dalam di lain kesempatan. Hehe…

Pertanyaan terakhir. Bagaimana rasanya kalah di Pemilu kemarin?

Rasanya luar biasa. Kalah dan menang bagi saya urusan belakangan. Setidaknya saya telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Saya juga telah mempraktikkan politik praktis yang lurus. Sesuai kaidah teori-teori politik dalam pelajaran sekolahan yang pernah saya pelajari. Dan bagi saya, keputusan untuk andil kemarin juga adalah keputusan yang spiritual secara personal.

Naif? ya. Kita belum butuh orang-orang seperti saya, tepatnya, belum saatnya (tertawa).

You win, you earn, you loose, you learn.

Author