Peringatan: Judi adalah perbuatan buruk yang dilarang agama dan negara. Tulisan ini dibuat agar aktivitas perjudian, apapun bentuknya, dapat diminimalkan, bahkan dihilangkan.
INTERAKSI.CO, Batulicin – The King of Dangdut, Rhoma Irama, merilis lagu berjudul “Judi” pada 1987. Lagu yang terinspirasi dari Pekan Olahraga dan Ketangkasan di era Orde Baru ini masih relevan diperdengarkan sampai detik ini.
Tiga puluh tujuh tahun setelah lagu tersebut dirilis, judi masih menjadi aktivitas yang dilakukan banyak orang. Bahkan, hari ini judi makin menjadi-jadi. Praktiknya pun jauh lebih canggih dan ‘mematikan’.
Cerita seorang istri yang membakar suaminya akibat judi online masih menempel pada ingatan. Peristiwa memilukan ini sekaligus menggambarkan bahwa korban judi versi daring ini juga menyasar nyaris seluruh kalangan.
Di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, judi online layaknya pasar gelap. Ramai tapi senyap. Orang yang datang ke ‘pasar’ itu begitu banyak, dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk kelompok Gen Z.
Di sebuah kafe populer di Tanah Bumbu, Zay (bukan nama sebenarnya), merapikan posisi duduknya. Dia bersandar di kursi. Tangannya menyangga pipi. Pria kelahiran 2003 yang berprofesi sebagai barista itu adalah anak muda yang kreatif, dan seperti kebanyakan Gen Z lainnya, isi kepalanya sesak dengan informasi.
Sudah lama Zay akrab dengan aktivitas judi online. Dia pertama kali bermain saat pandemi melanda, setelah sebelumnya dia tak bisa menolak bujuk rayu teman-teman di circle-nya. Rasa penasaran ikut membawanya terjerumus pada aktivitas haram tersebut.
“Saat pertama kali main, saya langsung menang Rp500 ribu,” ucapnya.
Di lingkungan pertemanan Zay, nyaris semuanya bermain judi online. Aktivitas ini layaknya hiburan bagi mereka yang sebagian di antaranya adalah pengangguran. Judi slot adalah salah satu favorit Zay Cs.
“Awalnya memang sangat menghibur. Mendaftarnya juga sangat mudah. Praktis. Tinggal masukkan email dan nomor handphone, langsung bisa main,” ucapnya.
Zay yang bercerita sembari melayani customer kafe kemudian mencari jejak aktivitas transaksi judi online di gawainya. Di situ dia memperlihatkan rekaman layar bahwa dia pernah meraup ‘keuntungan’ besar. Totalnya lebih dari Rp35 juta.
“Kalau kalah paling banyak sampai Rp5 juta,” sebutnya.
Di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, judi online layaknya pasar gelap. Ramai tapi senyap. Orang yang datang ke ‘pasar’ itu begitu banyak, dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk kelompok Gen Z.

Namun, cerita itu telah berlalu. Sudah dua bulan belakangan ini dia meninggalkan hiburan setan itu. Zay sadar hal tersebut merupakan sesuatu yang melanggar, baik aturan negara maupun agama. Apalagi belakangan ini praktik judi online makin menjadi atensi pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia.
Hal lain yang masih dia sesali karena nomor pribadinya terlanjur terdaftar di situs judi, sehingga hampir setiap hari dia mendapat teror pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Pesan-pesan itu benar-benar mengganggu dirinya.
“Setiap hari pasti ada. Bunyinya, ‘kalau ingin gacor, ikuti tips ini’. Tapi sekarang selalu saya balas pakai emoticon jari tengah,” katanya, sedikit kesal.
Alasan lainnya karena Zay memiliki impian menjadi pria mapan dan bertanggung jawab. Sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, dia ingin punya rumah sendiri, berpenghasilan lebih dari cukup, dan kelak hidup bahagia bersama istri dan anak-anaknya.
Tipu muslihat judi online memang membuatnya tampak mengasyikkan. Hal itu diakui oleh Roy (bukan nama sebenarnya) yang sempat mencicipi aktivitas tersebut pada akhir 2022 sampai awal 2023.
“Memang itu sangat menghibur, walau kalah sekalipun. Tapi saya sempat main sebentar saja,” katanya.
Roy yang kelahiran 1998 hanya sempat dua bulan bermain, karena dia menyadari ada pihak-pihak tertentu yang mengatur gim tersebut. “Saya sadar ada yang mengatur itu, karena sulit menang. Tapi kalau pun menang terus, pada akhirnya takut juga dengan hukum negara dan agama,” ucapnya.
Seorang wanita yang duduk tak jauh dari posisi Zay dan Roy juga mengaku ‘akrab’ dengan aktivitas judi online. Meski tidak secara langsung, tetapi selama ini dia menjadi ‘tempat penyimpanan’ uang dari temannya yang sudah terlanjur kecanduan.
Si wanita, sebut saja Lady, dan rekannya yang kecanduan judi online, juga sama-sama dari kelompok Gen Z.
“Kalau teman saya itu sudah parah. Biasanya nitip uang hasil judi ke saya. Alasannya supaya bisa mengambil sedikit-sedikit,” ungkapnya.
Meski sama-sama Gen Z, tetapi pengalaman Nov (bukan nama sebenarnya) cenderung berbeda. Pria kelahiran 2002 itu mengaku pernah mencoba ikut bermain, tetapi dia tak merasakan sensasi apapun. “Pernah nyoba. Tapi biasa aja. Setelah itu langsung berhenti,” kata pria pecinta kopi yang hobi memotret itu.
Mengutip Liputan 6, Psikolog Oktina Burlianti mengatakan judi online merupakan bentuk awal pelarian Gen Z dari sebuah ledakan karena kemarahan, kesepian, kelelahan, ataupun stres karena keadaan.
Gen Z yang lahir pada rentang 1997-2012 dinilai ingin mencari sebuah kebahagiaan. Sebab judi online dinilai dapat memunculkan dopamine berpengaruh terhadap munculnya perasaan yang menyenangkan.
“Jadi mereka boring, lonely, angry, stress, dan tired. Jadi dengan tuntutan dunia ini lah, ya, terus kurang komunikasi. Jadi intinya mereka ini adalah generasi yang bosan. Mereka butuh tantangan, dan enggak punya penyaluran,” kata Oktina.
Kata dia, hal tersebut juga berkaitan pula dengan quarter life crisis yang menyebabkan pencarian jati diri. Karena hal itu banyak para Generasi Z itu yang biasanya hanya ingin mencari hiburan dari rasa tidak nyaman yang berdampak pada kecanduan.
“Jadi, generasi-generasi Z ini adalah generasi stres. Orang-orang kecanduan adalah orang-orang yang stres, tertekan, dan mereka mau lari dari rasa tidak bahagia mereka dengan melalui judi online. Nah ini bahaya. Sebab, biasanya pergerakannya dari judi online, nanti dia akan candu yang lain-lain,” paparnya.
Data Judi Online di Indonesia
Mengutip katadata, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengungkapkan ada sekira empat juta orang yang terdeteksi melakukan judi online di Indonesia.
Menurut data tersebut, ada dua persen masyarakat di bawah usia 10 tahun yang terlibat judi online. Totalnya kurang lebih 80 ribu orang.
Kemudian yang berusia 10-20 tahun ada 11% (440 ribu pelaku), usia 21-30 tahun 13% (520 ribu pelaku), usia 31-50 tahun 40% (1,64 juta pelaku), dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta pelaku).
Jumlah terbanyak pemain judi online berada pada rentang usia 30-50 tahun dengan persentase mencapai 40 persen atau 1.640.000 penduduk.
Kemudian dari 2,37 juta pelaku judi, 80 persen di antaranya tergolong kalangan menengah ke bawah. Sementara klaster nominal transaksinya untuk menengah ke bawah itu antara Rp 10.000 sampai Rp 100.000.
Ada lima provinsi yang masyarakatnya banyak terpapar judi online yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Perputaran uang judi online di Indonesia juga sangat dahsyat. Jumlahnya mencapai Rp600 triliun. Dana sebanyak itu diduga mengalir ke 20 negara.
Apa pun nama dan bentuk judi
Semuanya perbuatan keji
Apa pun nama dan bentuk judi
Jangan dilakukan dan jauhi…
Begitu kata Bang Haji. Si Raja Dangdut yang tak pernah berhenti mengingatkan betapa berbahayanya judi, apapun namanya, bagaimana pun bentuk permainannya.
Penulis: Puja Mandela