INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Ratusan mahasiswa berkerumun di Jalan Lambung Mangkurat, Jum’at 1 Agustus 2025. Pelantang suara tak henti menggema, dan satu nama terus disebut: Supian HK, Ketua DPRD yang kembali absen.

“Kebijakan dihadirkan di ruang publik yang tidak sama sekali mewakili, bahkan tidak membela rakyat,” ucap Rizki, Wakil Presiden Mahasiswa STIH Sultan Adam membuka mimbar bebas sore itu.

Suaranya lantang, menyuarakan keresahan kolektif massa aksi terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dinilai sarat pasal bermasalah.

Aksi ini bentuk perlawanan terbuka dari Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan.

Berdasarkan pantauan Interaksi.co, massa aksi mulai berdatangan ke kawasan DPRD Kalsel pukul 15.17 Wita. Mereka mengarak spanduk-spanduk dengan tulisan seperti “Hukum Bukan Alat Penindas” dan “RKUHP Dikebut, Kebebasan Direbut: RIP Demokrasi”.

Massa aksi menegaskan penolakan mereka berangkat dari kajian mendalam. RKUHAP, menurut BEM se-Kalsel, menunjukkan arah politik hukum yang regresif.

Massa aksi BEM se-Kalsel berorasi. Foto: Interaksi.co/Rezaldi

Baca juga: BEM se-Kalsel Minta DPRD Provinsi Tolak UU TNI

Alih-alih memperkuat prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, sejumlah pasal dalam RUU RKUHAP, kata mereka, justru memperluas kewenangan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan tanpa pengawasan yudisial yang ketat.

Mereka menyoroti sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, di antaranya: Pasal 5 Ayat (1) Huruf D, Pasal 90 Ayat (2), Pasal 93 Ayat (5) Huruf C, Pasal 105 Ayat (1), Pasal 106, Pasal 124, Pasal 154, Pasal 24–26, Pasal 16, dan Pasal 145 Ayat (1).

Setelah satu jam orasi berlangsung, dua legislator akhirnya muncul: Wakil Ketua DPRD H. Kartoyo dan anggota Komisi IV Nor Fajri. Namun, absennya Ketua DPRD Supian HK kembali menuai kekecewaan. Ini adalah kali keempat ia tidak hadir saat mahasiswa datang menyuarakan aspirasi.

“Ketua (Supian HK) tidak hadir hari ini, karena memang Partai Golkar persiapan Musda,” jelas Kartoyo kepada massa.

Kartoyo menyebut pimpinan DPRD bersifat kolektif kolegial. Namun pernyataan itu tak cukup meredam kekecewaan. Aksi serupa pada 21 Maret 2025 terkait penolakan revisi UU TNI, menurut mahasiswa, juga belum mendapat tindak lanjut.

Massa aksi bernegosiasi kepada pihak kepolisian untuk menemui Ketua DPRD Kalsel. Foto: Interaksi.co/Rezaldi

Baca juga: Saat Meratus dan Raja Ampat Sama-Sama Jadi Korban Atas Nama Pembangunan

”Kami disini akan tetap bertahan dan kami tidak menerima Wakil Ketua yang hadir ke lapangan. Karena ketika Wakil Ketua yang kami terima terus menerus, maka itu menjadi kebiasaan di dalam setiap gerakan-gerakan mahasiswa dan masyarakat,” tegas Anzari, Presiden Mahasiswa UNISKA 2025.

Negosiasi berlangsung alot. Massa meminta Kartoyo dan Nor Fajri berdiskusi langsung di depan Rumah Banjar, lokasi aksi berlangsung. Permintaan ini ditolak, bahkan didampingi penolakan dari aparat kepolisian.

Situasi memanas. Kedua legislator sempat meninggalkan lokasi yang memicu sorakan kecewa dari massa. Namun hingga pukul 17.00 Wita, Kartoyo dan Nor Fajri kembali hadir dan bersedia berdialog langsung. Tujuh poin tuntutan Aksi Indonesia [C]Emas dibahas dalam pertemuan terbuka.

Hasilnya, Kartoyo menandatangani tuntutan mahasiswa, sementara Nor Fajri membacakannya di hadapan massa aksi.

“Dalam waktu 3×24 jam, perkembangan penerusan tuntutan ini nanti akan diumumkan melalui media sosial DPRD Kalsel,” ujar Nor Fajri.

Anggota Komisi IV, Nor Fajri dan Wakil Ketua DPRD Kalsel, Kartoyo menerima berdiskusi dan menerima poin tuntutan. Foto: Interaksi.co/Rezaldi

Baca juga: ULM Dihantam Badai Lagi: Program 100 Guru Besar, Mimpi atau Ilusi?

Perwakilan BEM se-Kalsel, Hafit Cahyo Saputra, menggarisbawahi salah satu pasal paling krusial dalam RKUHAP: Pasal 105 Ayat (1). Pasal ini memberi kewenangan kepada penyidik untuk meretas sistem digital, yang menurutnya merupakan pelanggaran terhadap privasi warga.

“Karena dalam beberapa pasalnya itu memiliki keterbelakangan, memundurkan bahkan mengalihkan aspek hak asasi manusia. Perlindungan dan kepastian hukum tidak ada, sementara kewenangan penyidik diperluas,” ujar Hafit kepada sejumlah wartawan seusai aksi.

Tak hanya soal RKUHAP, mahasiswa juga menyoroti isu lokal yang mereka nilai luput dari perhatian pemerintah pusat, seperti program transmigrasi Jawa-Kalimantan. Kebijakan itu dinilai mengancam demografi dan hak masyarakat asli Kalimantan.

“Kalimantan yang banyak sumber daya alam dan manusia, itu berpotensi terancam akibat bertambahnya populasi manusia yang menjadi salah satu akibat dari transmigrasi tersebut,” tegas Hafit.

Tujuh Poin Tuntutan Indonesia [C]Emas BEM se-Kalsel:

  1. Menolak revisi RKUHAP
  2. Menolak kebijakan transmigrasi yang mengabaikan kearifan lokal, potensi konflik sosial, dan kerusakan ekosistem, khususnya di Kalimantan Selatan
  3. Menolak pengaburan sejarah dan mengecam politisasi sejarah demi kepentingan elite politik
  4. Menolak segala bentuk deforestasi dan pertambangan yang mengabaikan ekosistem dan kearifan lokal
  5. Menolak dan menuntut pencabutan UU TNI
  6. Mendesak pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset
  7. Mendesak pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Masyarakat Adat

Author