INTERAKSI.CO, Jakarta – Proyek Chromebook yang digadang-gadang sebagai revolusi digitalisasi pendidikan Indonesia kini jadi pusat skandal hukum.
Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, resmi menyandang status tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan 300 ribu unit Chromebook senilai Rp3,7 triliun.
Yang mengejutkan, Nadiem secara tegas menyatakan “tidak menerima satu pun dana” dari proyek tersebut. Lantas, mengapa ia jadi tersangka?
Baca juga: Prajurit TNI Tewas Ditembak Rekannya di Keerom Papua, Pelaku Sudah Diamankan
Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terkait penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Meski tak terbukti menerima aliran dana, perannya sebagai pembuat keputusan dianggap berkontribusi pada kerugian proyek.
Sumber internal Kemendikbud menyebutkan, spesifikasi teknis Chromebook yang ditetapkan saat Nadiem menjabat justru mempersulit proses pengadaan hingga membuka celah korupsi.
Proyek ini digulirkan 2021 sebagai bagian dari program “Merdeka Belajar” untuk mendukung pembelajaran jarak jauh. Namun, implementasinya sarat masalah:
- Harga Chromebook yang dibeli 40% lebih mahal dari pasaran.
- Spesifikasi minimum yang ditetapkan hanya dipenuhi satu vendor.
- Pemenang tender diduga “kondusif” karena memiliki hubungan dekat dengan pejabat Kemendikbud.
Nadiem sendiri dalam pernyataannya menegaskan, keputusan teknis pengadaan sepenuhnya diserahkan kepada tim profesional di bawahnya.
“Saya hanya memberi arahan strategis, bukan mengatur detail teknis,” ucapnya.
Skandal ini memunculkan pertanyaan krusial, bisakah pemimpin jadi tersangka tanpa bukti penerimaan dana?
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indarto, menilai penetapan tersangka ini bisa jadi preseden buruk jika tak dibarengi bukti kuat.
“Pasal Tipikor menghukum siapa saja yang menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri/orang lain/corporate. Tapi tanpa elemen enrichment, kasus ini rentan politisasi,” katanya.
Di sisi lain, masyarakat sipil menyoroti kerugian negara nyata yang mencapai Rp1,3 triliun. “Fokusnya harus pada pemulihan kerugian, bukan sekadar menjadikan tokoh publik sebagai kambing hitam,” tegas Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW).