Perasaan itu tergambar jelas dalam lagu All Out Of Love Air Supply, tiap liriknya sangat membuat saya meratap. Saya rasa, lagu itu bukan hanya sekadar nada, tetapi mencerminkan kehilangan yang sesungguhnya.
Oleh Adelia
Kecintaan saya pada lagu lama sebenarnya berawal dari orang tua, tepatnya dari ayah. Beliau sering memutar lagu “Nothing’s Gonna Change My Love For You” sembari menikmati kopi di pagi hari. Alunan lembut lagu itu membuat saya jatuh cinta pada lagu lama sejak pertama kali mendengarnya.
Kata ayah, lagu ini ia putar setiap minggu sebagai dedikasinya pada ibu. Saya hanya tertawa dan tersipu saat mendengar ucapan beliau. Saat itu saya kelas dua SMP, masa remaja yang penasaran bagaimana rasanya cinta. Namun, jauh di lubuk hati, saya menduga bahwa cinta mungkin rasanya seperti kehangatan yang saya rasakan ketika ayah menggumamkan lagu itu sembari memandang ibu. Atau mungkin seperti lucunya kemarahan ibu ketika sesi lagu romantisnya tergantikan lagu “Tenda Biru“ Desy Ratnasari.
Perpindahan dari nuansa romantis ke suasana sendu meninggalkan kesan unik di hati saya. Indahnya momen yang terjadi saat itu membuat saya tersenyum hangat. Dari situ saya sadar bahwa musik tidak hanya menyuguhkan melodi indah, tapi juga punya banyak wajah. Berawal dari sinilah secara perlahan lagu-lagu lama membentuk selera musik saya. Saya mulai percaya bahwa setiap lagu membawa cerita, tawa, cinta, dan luka.
Selera itu kemudian terbawa hingga saat ini. Memori lagu lama tidak hanya diisi cerita dari orang tua. Sekarang, saya menjajaki cerita saya sendiri. Saya masih ingat satu malam ketika petikan gitar dan suara sumbangnya terdengar dari ponsel. Suaranya memang tidak sempurna, nadanya pun tidak tepat, tapi kenangan itu melekat. Di antara petikan gitar, ia menyanyikan bait ini:
Thank you for loving me
For being my eyes
When I couldn’t see
For parting my lips
When I couldn’t breathe
Bak anak remaja dimabuk asmara, lagu yang dulunya selalu saya dengar melalui Spotify kini saya dengar melalui suaranya. Setiap petikan dan nada yang ia nyanyikan seakan menggantikan suara asli sang penyanyi, memberi warna baru pada lagu itu.
Mendengarnya membuat saya percaya bahwa ini giliran saya untuk merasakan cinta. Sejak saat itu, saya semakin menyukai Bon Jovi. Tiap kali mengingat momen itu, rasanya hangat dan mendekap, meski terkadang saat mengingat suaranya yang sedikit sumbang, saya tidak kuasa menahan tawa geli.
Kata orang, cinta membuat semua terasa seperti di musim bunga. Setiap detik yang dilewati seakan ringan sekali untuk dijalani. Seolah waktu berjalan lebih pelan untuk memberikan saya kesempatan menikmati kebahagiaan. “Heaven“ Bryan Adams ialah gambaran perasaan saya saat itu. Melodi dan liriknya mengalir lembut, seakan mengulurkan tangan agar semua orang merasakan betapa indahnya cinta yang sederhana. Ada ketenangan dalam setiap baitnya. Bryan Adams mampu membuat saya merasakan surga sekaligus cinta melalui lantunan yang terucap dari mulutnya.
Jika cinta datang sebagai musim bunga, maka ada saatnya ia berganti menjadi musim gugur. Musim bunga yang indah perlahan runtuh, luluh lantak. Bunga itu berhenti mekar, berganti dengan kenangan yang ia tinggalkan. Kenangan yang mungkin bisa membuat saya tersenyum jika mengingatnya, atau bahkan menangis karena kisahnya yang tragis. Walaupun ia tidak lagi tumbuh di taman saya, semoga ia selalu dijaga oleh semesta.
Perasaan itu tergambar jelas dalam lagu “All Out Of Love” Air Supply, tiap liriknya sangat membuat saya meratap. Saya rasa, lagu itu bukan hanya sekadar nada, tetapi mencerminkan kehilangan yang sesungguhnya. Momen ini membuat saya sadar bahwa cinta sepaket dengan lara dan memantik jatuhnya air mata.
Sejak saat itu, lagu-lagu lawas tidak lagi saya dengar. Saya merasa butuh waktu untuk bisa berdamai dengan segala luka yang ada. Setiap lagu lawas yang terlantun, senyum getir muncul di wajah saya. Sebahagia apa pun iramanya, jika ia bersinggungan dengan luka yang saya rasakan, lebih baik jangan.
Sungguh ironi. Lagu-lagu lawas yang dulunya membuat saya tersenyum bahagia, ternyata ada kalanya membuat saya merasakan duka. Seorang teman pernah berkata pada saya, “Let it be, Del”. Pada detik itu saya langsung teringat dengan lagu legendaris milik The Beatles. Lagu ini seakan berkata bahwa ada kalanya saya hanya perlu menerima keadaan, melepaskan hal yang menyakitkan, dan membiarkan luka itu disembuhkan oleh waktu. Melalui lagu ini saya belajar, terkadang tidak semua hal harus saya mengerti, cukup dijalani, lepaskan, dan ikhlaskan.
Perlahan, lagu-lagu lawas mulai kembali terlantun dari daftar putar saya, meski terkadang masih menimbulkan luka. Saya memilih untuk tidak terjebak di dalamnya. Saya rasa, mengingat momen-momen bahagia yang pernah hadir dari tiap liriknya mampu membuat hati ringan dalam menjalani hari.
Pada akhirnya waktu akan membuat saya terbiasa. Bagi saya lagu-lagu lawas bukan sekadar pengingat duka, melainkan saksi bahwa rasa cinta, bahagia, dan luka pernah saya alami dan semua itu patut untuk saya syukuri. Sejak saat itu, musik bukan lagi sekadar hiburan, melainkan cermin perasaan yang diam-diam membentuk cara saya memandang cinta dan kehidupan.
*
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP ULM.