Setiap 24 September kita memperingati Hari Tani Nasional, sebuah momentum penting untuk merefleksikan peran dan perjuangan petani sebagai penopang utama kehidupan bangsa. Peringatan ini juga mengingatkan kita pada lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang menjadi dasar penataan kepemilikan dan pemanfaatan tanah demi keadilan sosial.
Hari Tani Nasional bukan sekadar simbol sejarah, tetapi pengingat bahwa kedaulatan pangan, kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah sangat bergantung pada kekuatan petani serta keberlanjutan pertanian. Momentum ini menjadi ruang untuk merenungi tantangan dunia tani, mulai dari akses lahan yang belum merata, harga hasil panen yang tidak stabil, keterbatasan sarana produksi seperti pupuk dan benih, hingga dampak perubahan iklim yang mengganggu musim tanam.
Bagi Kalimantan Selatan, Hari Tani Nasional memiliki makna strategis. Provinsi ini kaya potensi pertanian dan perkebunan—padi, jagung, sayuran, hortikultura, karet, hingga kelapa sawit. Data RPJMD 2025–2029 menunjukkan, lahan pertanian bukan sawah tercatat seluas 2.393.823,50 hektare, mencakup perkebunan, ladang, tegalan, dan hutan rakyat. Lahan non-pertanian untuk permukiman dan infrastruktur mencapai 1.071.021,30 hektare. Adapun lahan sawah, yang vital bagi ketahanan pangan, seluas 388.619,40 hektare.
Fakta ini menegaskan bahwa sebagian besar lahan telah termanfaatkan, meski belum optimal. Karena itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan produktivitas, mendorong diversifikasi pangan lokal, serta melindungi lahan sawah dari ancaman alih fungsi.
Sektor pertanian Kalimantan Selatan juga terbukti menjadi tulang punggung ekonomi. Menurut BPS, pada 2023 sektor ini menyumbang 11,37 persen terhadap PDRB dan menyerap sekitar 29,20 persen tenaga kerja. Artinya, pertanian bukan hanya penopang ketahanan pangan, tetapi juga pilar kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat.
Membangun ekosistem pertanian berkeadilan tentu tidak bisa dilakukan parsial, melainkan melalui kerja sama lintas sektor. Pemerintah daerah bersama DPRD perlu menghadirkan regulasi pro-petani dan mengawal reforma agraria. Perguruan tinggi harus melahirkan riset terapan, seperti bibit unggul, sistem irigasi hemat air, hingga digitalisasi pertanian. Kelompok tani juga perlu diperkuat sebagai wadah perjuangan hak, pengelolaan usaha, dan akses pasar.
Momentum Hari Tani Nasional kembali menegaskan bahwa pembangunan pertanian bukan hanya agenda teknis, melainkan agenda kedaulatan bangsa. Petani bukan sekadar produsen pangan, tetapi pilar peradaban yang menjaga kearifan lokal, menghidupi jutaan keluarga, dan menopang stabilitas ekonomi. Karena itu, legalisasi aset tanah, perbaikan infrastruktur irigasi dan jalan tani, serta akses permodalan murah harus menjadi prioritas pembangunan daerah.
Pada peringatan Hari Tani Nasional ini, mari kita bersama-sama meneguhkan tekad mengangkat martabat petani. Reforma agraria harus adil dan hasilnya dirasakan hingga ke pelosok desa. Bagi saya, kesejahteraan petani adalah kunci terwujudnya kemandirian pangan, keadilan sosial, dan kemakmuran masyarakat Kalimantan Selatan.
Selamat Hari Tani Nasional! Merdeka!
M. Syaripuddin