Oleh: Anisa Fitri

Pertama kali saya mendengar lagu Nadin Amizah karena direkomendasikan oleh teman saya yang seorang penggemar berat musisi asal Bandung itu. Katanya “Coba deh dengerin lagu-lagu Nadin.”

Awalnya saya pikir ini hanya lagu indie yang biasa-biasa saja, tetapi begitu saya putar salah satu lagunya, liriknya langsung menempel di kepala, vokalnya seperti bisikan yang akrab. Saya mendengar lagi, lalu lagi, dan akhirnya saya terseret masuk ke dunia Nadin yang penuh perasaan. 

Sulit sekali menjelaskan genre musik Nadin. Kadang terdengar seperti folk, kadang seperti pop akustik, bahkan sesekali menyerempet balada. Namun, yang jelas musiknya bukan untuk pesta, melainkan untuk hening. Nadin tidak butuh aransemen ribet, cukup gitar atau piano, lalu sisanya dibiarkan mengalir begitu saja. Ia menyanyi seperti bercerita. Ada semacam intimasi yang jarang saya temui di lagu lain. 

Di antara sekian banyak lagu Nadin, “Bertaut” punya tempat khusus di hati saya. Lagu ini bukan hanya enak di dengar, tapi juga relevan. Nadin membicarakan sesuatu yang sering kita lupakan yaitu hubungan seorang anak dengan ibu. Sederhana, tapi justru karena itu lagunya membekas.

Mendengar “Bertaut” membuat saya merasa seperti anak kecil lagi, anak kecil yang  rapuh tapi dilindungi. Saya suka karena lagu ini tidak pernah menggurui. Lagu  ini menuntun kita untuk menoleh ke rumah, menyadari bahwa ada seseorang yang selalu menunggu. Dalam setiap nadanya, saya merasa Nadin sedang menyampaikan pesan yaitu, selama ada ibu, kita tidak benar-benar sendirian.

Dalam salah satu baitnya, Nadin menyanyikan “Bun, aku masih tak mengerti banyak hal, semuanya berenang di kepala, dan kau, dan semua yang kau tahu tentangnya, menjadi jawab saat ku bertanya”. Lirik sederhana ini mengetuk hati saya. Lirik ini menggambarkan perasaan bingung dan tak mengerti yang saya alami, tetapi ibu selalu hadir sebagai sumber jawaban dan ketenangan saat saya bertanya tentang berbagai hal dalam hidup, serta menunjukkan ikatan erat yang tak terpisahkan antara ibu dan anak. 

Setiap kali mendengar suara Nadin Amizah di lagu “Bertaut”, saya teringat wajah ibu yang sedang sibuk di dapur. Lagu ini seperti pintu yang membuka kenangan lama, aroma masakan, suara piring beradu, hingga nasihat sederhana yang mungkin sering saya abaikan. Tapi ajaibnya, lagu ini justru hadir ketika saya butuh pengingat, bahwa sekeras apa pun hidup menekan, ada sosok ibu yang jadi jangkar. Musiknya tidak menggelegar, tetapi diam-diam membuat dada bergetar. Rasanya seperti ditepuk pelan di bahu sambil didengar tanpa dihakimi.

Lagu ini seperti soundtrack diam-diam dalam perjalanan saya. Ketika saya merantau untuk melanjutkan pendidikan, lalu telepon dari ibu masuk hanya untuk berkata, “Jangan lupa makan”, “jangan lupa istirahat”, dan “sholatnya jangan ditinggal”, tiba-tiba “Bertaut” terngiang.

Saya merasa lagu ini menjembatani kerinduan yang tidak bisa diucapkan. Saya mungkin jarang pulang, sibuk dengan urusan sendiri, tapi lagu ini mengingatkan bahwa ada benang halus yang terus mengikat saya dengan ibu. Ikatan itu tidak bisa diputus oleh jarak, bahkan oleh waktu. “Bertaut” jadi pengingat bahwa saya masihlah anak kecil yang selalu butuh pulang.

Lagu ini menyadarkan saya bahwa ibu bukan hanya figur dalam keluarga, tapi fondasi hidup. Dari kecil, beliau yang mengajarkan cara berjalan, cara membaca, hingga cara bertahan. Cintanya mungkin tidak selalu ditunjukkan dengan kata-kata manis, tetapi lewat tindakan kecil seeperti menyiapkan makanan, menunggu pulang, atau sekadar mematikan lampu kamar saat saya tertidur dan lupa untuk mematikan lampu.

“Bertaut” seakan menegaskan bahwa ibu adalah rumah paling sejati. Selama ada ibu, semua akan baik-baik saja. Bahkan ketika dunia terasa berat, kehadirannya membuat saya kembali dapat melangkah. 

Musik seringkali dianggap sekedar hiburan, tetapi bagi saya, “Bertaut” adalah sebuah doa. Doa agar kita tidak lupa dari mana kita berasal, karena kita tahu siapa yang selalu mendoakan kita di balik layar kehidupan. Lagu ini membuat saya percaya bahwa cinta seorang ibu tidak akan pernah berakhir. Ibarat cahaya kecil yang selalu menyala, bahkan di tengah kegelapan terdalam. Setiap kali lagu ini dimainkan, hati saya berbisik pelan meski hidup penuh kejutan, selama ada ibu, semuanya akan baik-baik saja.

Pada akhirnya, saya merasa bahwa musik, khususnya melalui lagu-lagu Nadin Amizah, bukan sekadar rangkaian nada yang enak didengar. Lagu-lagu ini menjadi ruang refleksi, tempat saya belajar memahami diri sendiri dan orang-orang terdekat saya.

Melalui “Bertaut”, saya memahami bahwa kasih sayang seorang ibu hadir tidak hanya dalam momen-momen besar, tetapi juga dalam detail-detail kecil yang terkadang luput dari perhatian. Lagu ini mengingatkan saya untuk jangan pernah melupakan asal usul saya dan memberikan kekuatan untuk terus maju.

*

Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP ULM.

Author