“Hari ini kami datang kembali di tempat yang sama, memperjuangkan hak-hak masyarakat. Kami hadir untuk merawat ingatan.”
INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Menjelang petang, saat itu langit Kota Banjarmasin tampak mendung.
Sekelompok pemuda mulai berdatangan, lengkap berpakaian hitam dan membawa selembaran seruan merapatkan barisan di sudut jalan tepat di bawah Jembatan Flyover Kilometer 4,5.
Seperti biasa, mereka turun ke jalan untuk menyerukan suara masyarakat dan mengingat kembali berbagai peristiwa yang dianggap merampas hak-hak masyarakat.

Aksi itu menandai gelaran Kamisan Kalsel ke-69, mereka menyoroti berbagai isu yang masih hangat.
Mulai dari kriminalisasi aktivis Mayday seperti Marsinah dan kawan-kawan di Semarang yang baru saja belakangan ini terjadi, hingga potensi perampasan hak-hak masyarakat adat di Pegunungan Meratus yang semakin mengkhawatirkan.
Massa aksi Kamisan Kalsel, Maulidinur Rahman, mengungkapkan sejumlah poin tuntutan. Namun, ia lebih menekankan pada isu lokal yang terus mereka suarakan mengenai rencana menjadikan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional dalam proyek strategi nasional.
Proyek itu, kata Maulidi, berpotensi membatasi ruang hidup masyarakat dan bisa menjadi dalih untuk ‘melindungi’.
“Kalau dianalogikan dalam kehidupan, Taman Nasional itu bagaikan kita punya hubungan tapi itu toxic,” ujar Maulidinur Rahman, Kamis (15/5/2025).

“Semisal masyarakat adat mau menanam, nanti bisa dilarang, yang awalnya masyarakat mempunyai tanah di sana, diambil alih oleh pemerintah,” sambungnya.
Maulidi juga mencontohkan dampak serupa di wilayah lain yang sudah berubah status menjadi taman nasional yang justru menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.
“Makanya kami sangat menolak status Taman Nasional diberikan kepada Pegunungan Meratus,” tegasnya.
Mereka juga turut menyoroti eksploitasi alam yang saat ini masih terjadi di Kalimantan hingga konflik yang berujung kriminalisasi petani Sumardi yang pernah terjadi di Kabupaten Banjar tahun 2024.