“Let it Be” bukan lagi sekadar lagu, tetapi pengingat yang terus menguatkan saya untuk melangkah maju.

Oleh Jessica E. Lumako

Pertama kali saya mengenal lagu “Let it Be” adalah saat berada di masa yang sangat sulit. Bukan sekadar patah hati, tetapi rasa sedih yang begitu dalam hingga membuat saya hampir putus asa dan sempat berpikir untuk mengakhiri hidup. Saat itu saya merasa sangat kosong dan tidak tahu harus berbuat apa.

Untuk menghibur diri, saya membuka aplikasi TikTok dan mulai menonton video-video acak. Tiba-tiba, di beranda saya muncul sebuah video dengan lagu yang liriknya berbunyi, ”When i find myself in times of trouble, mother mary comes to me, speaking words of wisdom, let it be.”

Lirik itu langsung menarik perhatian saya. Saya berhenti sejenak, mendengarkan dan entah mengapa hati saya sangat tertarik dengan lagu ini. Kata-kata itu terasa sangat dekat dengan apa yang saya rasakan.

Saya kemudian mencari tahu lirik lengkapnya. Semakin saya membaca, semakin saya merasa lagu ini seperti surat yang dikirimkan khusus untuk saya. Khususnya pada lirik “When i find myself in times of trouble, mother mary comes to me, speaking words of wisdom, Let it be”. Bagi saya, lirik tersebut seperti pengingat bahwa ketika saya berada di masa-masa sulit, saya seolah mendapat penghiburan.

“Mother Mary” datang membawa kata -kata bijak: “let it be”, biarkanlah, terimalah, lepaskan. Pesannya sederhana, bahwa dalam situasi yang kita tidak bisa ubah, kita perlu menenangkan hati dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja pada waktunya.

Lalu pada lirik “And when the broken hearted people, living in the world agree, there will be an answer, let it be”. Bagian ini menguatkan bahwa saat mengalami patah hati atau luka batin bisa percaya bahwa pada akhirnya akan ada jawaban, akan ada penyelesaian, membuat saya untuk tetap optimis, karena selalu ada harapan meski dunia terasa kacau.

Dari sebuah media saya mendapati sebuah fakta bahwa “Mother Mary” pada lirik tersebut sebenarnya merujuk pada ibunda Paul McCartney yang telah meninggal saat ia masih muda. Namun, bagi saya pribadi, “Mother Mary” bukan sekadar ibunda Paul, melainkan sosok Bunda Maria. Sebagai seseorang yang memiliki kedekatan dengan iman saya, lirik itu seolah memberi penghiburan.

Saya membayangkan sosok Bunda Maria datang di tengah kesedihan saya, berbisik lembut, “let it be”, biarkanlah. Jangan memaksa sesuatu berjalan seperti kemauanmu. Dan entah mengapa, bayangan itu membuat hati saya tenang. Rasanya seperti didorong untuk datang ke hadirat Tuhan, berdoa dengan tulus.

Sejak mengenal lagu itu, setiap kali merasa sedih, bingung, atau marah pada keadaan, saya selalu memutar lagi. Tidak jarang saya mendengarkannya berulang-ulang hingga hati terasa lebih ringan. Bagi saya, lagu ini seperti doa yang dinyanyikan mampu menenangkan pikiran dan memberi rasa lega. Lagu ini juga menjadi pengingat bagi saya, seakan-akan pesan dari Bunda Maria untuk menerima keadaan dengan ikhlas dan tetap percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Uniknya, ini adalah satu-satunya lagu The Beatles yang saya dengarkan. Padahal saya tahu The Beatles punya banyak lagu terkenal lain seperti “Hey Jude”, “Yesterday”, dan “Here Comes the Sun.” Tetapi entah mengapa, hanya “Let it Be” yang berhasil membuat saya jatuh hati. Mungkin karena saya mendengarkan di saat yang tepat, pada saat dimana mendengarkannya di saat yang tepat, saat saya benar-benar butuh sesuatu untuk menahan saya agar tidak jatuh terlalu dalam.

Sebelum mengenal lagu ini, saya mencoba menghibur diri dengan berbagai cara. Saya sering jalan-jalan bersama teman, membeli makanan yang saya sukai, hingga bermain game untuk melupakan masalah. Namun, meskipun saya melakukan banyak hal yang menyenangkan, hati saya tetap terasa sakit. Semua itu hanya membuat saya terlihat seperti pura-pura bahagia.

Setelah mengenal “Let it Be” dan memahami maknanya, saya merasa seperti diingatkan untuk melepaskan. Seolah Bunda Maria sendiri yang berbicara dan menuntun saya untuk berhenti memaksakan keadaan.

Saya pun mulai mendengarkan pesan itu dengan sungguh-sungguh. Lagu ini membawa saya masuk ke hadirat Tuhan, membuat saya berdoa untuk mengikhlaskan segala hal yang membeban hati. Perlahan, saya belajar berdamai dengan keadaan dan benar-benar bisa melepaskan. Dari situlah saya akhirnya keluar dari keterpurukan, bukan lagi dengan pura-pura bahagia, melainkan dengan hati yang sungguh-sungguh tenang.

Kini, setiap kali lagu itu diputar, saya merasa seperti diingatkan kembali untuk hidup dengan hati yang lebih ringan. Saya belajar bahwa melepaskan bukan berarti menyerah, tetapi memilih untuk percaya bahwa semua akan ada jawabannya pada waktunya. “Let it Be” bukan lagi sekadar lagu, tetapi pengingat yang terus menguatkan saya untuk melangkah maju. Lagu ini mengajarkan saya untuk tidak menggenggam terlalu erat, untuk percaya pada proses, dan untuk menerima bahwa ada hal-hal yang harus saya lepaskan agar bisa terus berjalan.

*

Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP ULM.

 

Author