Oleh: Noorhalis Majid
“Kalau Pilkada kembali melalui proses di DPRD, maka Pilkada Kota Banjarbaru sudah selesai, pada saat semua partai mampu diborong oleh salah satu pasangan calon, tidak mungkin kasusnya berlanjut hingga ke MK”, kata Titi Angraini, pengamat Pemilu dan Dewan Pembina PERLUDEM.
Padahal suara partai yang sudah diborong habis tersebut tidak merepresentasikan suara masyarakat, buktinya mayoritas pemilih tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai-partai tersebut, lanjut Titi menambahkan pendapatnya saat diskusi via zoom yang digelar INTEGRITY.
Seandainya suara partai merupakan representasi suara warga, maka tidak ada masalah Pilkada kembali melalui DPRD. Pasti alasan penghematan dan menghindari Pilkada berbiaya tinggi akan menjadi relevan.
Namun bila suara partai justru dijual murah untuk kepentingan pragmatisme, bisa dibayangkan, yang menguasai pencalonan Pilkada hanyalah kelompok berduit. Pada saat itu, antrian panjang para kandidat kepala daerah akan ada di rumah-rumah tuan bohir, yang mampu menyediakan dana untuk membayar mahar tertinggi kepada partai-partai.
Bisa diduga, dengan alasan pragmatisme, misal untuk penyediaan sarana dan fasilitas kantor, menutupi operasional, pengembangan ini dan itu, maka partai-partai akan mencari uang dengan menjual dukungannya kepada yang paling berani membayar tinggi. Dan partai yang perolehan kursinya sedikit, karena tidak mampu mengusung calon sendirian, akan lebih pragmatis, merapat pada yang paling mampu membayar tertinggi.
Karena itu, kalau semata hanya untuk memangkas tingginya biaya Pilkada, pemilihan melalui DPRD beresiko merampas hak warga untuk menentukan suaranya dalam memilih pemimpin daerah. Sementara partai terbukti semakin tidak merepresentasikan suara warga.
Kecuali bila partai politik dibenahi sedemikian rupa, dikelola secara demokratis, dan menjadi contoh terbaik praktik berdemokrasi, sehingga suaranya merepresentasikan keinginan warga. Tapi mungkinkah? Karena sudah terlanjur pragmatis dan pasrah dikuasai oligarki? (nm)