Indonesia adalah rumah bagi ratusan juta jiwa yang berbeda-beda. Ada yang lahir di pulau yang jauh, ada yang berbicara dengan bahasa daerah dan logat yang tak sama, dan ada pula yang memeluk keyakinan berbeda-beda. Perbedaan itu bukan sekadar kenyataan, tapi juga keindahan yang membuat Indonesia unik. Namun, di balik itu semua, ada tantangan besar. bagaimana kita bisa tetap bersama, meski tak sama?

Suatu pagi di warung kopi , dua bapak-bapak sedang duduk di bangku kayu yang mulai lapuk sembari menyeruput minum mereka.

“Pak Habibi. Bapak udah pasang bendera di depan rumah?” tanya Pak Abrar sambil tersenyum.

“Udah dong pak,” jawab Pak Habibi dengan santai. “Walau bendera kita sama, pendapat kita sering berbeda-beda juga ya pak?”

“Namanya juga hidup Pak. Yang penting kita bisa tetap ngopi bareng begini,” balasnya, lalu tawa ringan pun lepas, menyatu dengan aroma kopi pagi.

Obrolan sederhana di warung itu seolah menjadi cermin kehidupan kita. Kebersamaan tidak selalu butuh keseragaman. Kita bisa berbeda selera, berbeda pendapat, bahkan berbeda cara pandang, tapi tetap bisa duduk di meja yang sama. Kebersamaan bukan tentang menghapus perbedaan, melainkan menerima dan memakluminya.

Di zaman sekarang, tantangan kebersamaan muncul dalam bentuk baru. Banyak anak-anak lebih hafal nama gamers terkenal, TikTokers viral, Youtuber, bahkan yang lagi fenomenal seperti Edi Sound Horeg, tapi tidak hafal nama pahlawan yang berjuang untuk negeri ini. Mereka bisa menyebutkan karakter game dengan cepat, tapi kadang bingung kalau ditanya siapa Cut Nyak Dien atau Bung Tomo.

Fenomena ini bukan untuk menyalahkan generasi muda, tapi jadi pengingat bahwa kita perlu menanamkan rasa cinta tanah air bukan hanya lewat buku sejarah, tapi juga lewat pengalaman kebersamaan di dunia nyata.

Sejarah juga mengingatkan kita bahwa perbedaan yang tak dikelola bisa berujung pada perpecahan. Indonesia pernah melewati masa-masa kelam, seperti kerusuhan Ambon 1999–2002 yang menewaskan sekitar 5.000 jiwa dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi. Konflik Sampit 2001 yang memakan lebih dari 400 korban jiwa, dan konflik Poso di Sulawesi Tengah yang memakan lebih dari 1.000 korban jiwa. Semua itu terjadi karena rasa curiga, benci, dan ego.

MOMEN AGUSTUS, MOMEN KEBERSAMAAN

Setiap bulan Agustus, suasana kemerdekaan selalu mengingatkan kita pada nilai kebersamaan. Lomba panjat pinang, balap karung, makan kerupuk, dan tawa anak-anak di lapangan kampung menjadi cara kita merayakan Indonesia yang plural ini. Lomba-lomba itu seolah simbol bahwa semua orang bisa ikut bersenang-senang, tanpa peduli dari suku mana atau siapa orang tuanya.

Namun, di balik keriuhan perayaan, kita tetap dihadapkan pada pertanyaan penting. Apakah kita sudah cukup saling mengenal satu sama lain? Kadang, di dunia maya, kita cepat menghakimi dan marah pada perbedaan pendapat. Padahal, di dunia nyata, saling menyapa dan membantu tetangga jauh lebih penting daripada menang argumen di kolom komentar.

Damai bukan berarti kita sepakat dalam semua hal. Damai hadir ketika kita mau mendengar, menghargai, dan menjaga batas, tanpa harus menyakiti. Para pejuang kemerdekaan dulu datang dari latar belakang berbeda-beda, tapi mereka mampu menyatukan tekad. Itulah alasan Indonesia bisa merdeka.

Bersama meski tak sama artinya kita mau membangun jembatan, bukan jurang. Jembatan itu bisa sederhana, dimulai dari senyum di pagi hari, sapaan hangat untuk tetangga, atau ikut kerja bakti di lingkungan tanpa memandang siapa yang berbeda pangkat maupun pekerjaan. Hal-hal kecil seperti inilah yang menumbuhkan rasa percaya.

Kalau kita terus melakukan hal-hal sederhana itu, kita sedang menanam bibit toleransi yang lama-lama akan tumbuh menjadi pohon perdamaian yang kokoh. Pohon ini akan memberi teduh bagi siapa saja, tidak peduli dari mana asalnya. Itulah cara kita menjaga kemerdekaan yang diwariskan oleh para pahlawan-pahlawan kita. Bukan hanya sekadar ikut upacara lalu pulang tiba-tiba, bukan hanya sekadar lomba tapi juga mengokohkan jati diri bangsa kita.

Di bulan kemerdekaan ini, mari kita rayakan bukan hanya terbatas soal bendera dan lomba, tapi juga dengan sikap. Duduk bersama, tersenyum, saling menghormati. Sebab pada akhirnya, Indonesia akan terus berdiri tegak hanya jika kita mau hidup bersama meski tak sama.

Bagaimana, maukah kita bersama walau tak sama?

Penulis : Ahmad Marjuni
Guru, Aktivis Sosial-Keagamaan, dan Pemerhati Budaya

Author