INTERAKSI.CO, Banjarbaru – New York, 8 Desember 1980. Malam itu terasa dingin, tetapi tak ada yang menyangka bahwa udara akan membeku oleh sebuah tragedi.
John Lennon, pria yang mengajarkan dunia untuk “membayangkan” kedamaian, pulang ke Dakota Building, apartemen mewahnya di tepi Central Park. Di sisi lain gerbang, seorang pria dengan tatapan kosong menunggu, membawa lebih dari sekadar niat buruk.
Mark David Chapman telah ada di sana sepanjang hari, menggenggam salinan album Double Fantasy. Bahkan beberapa jam sebelumnya, Lennon menandatangani album itu dengan senyuman santai, tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan malaikat mautnya.
Saat Lennon dan Yoko Ono keluar dari limusin mereka pada malam itu, Chapman memanggil namanya. Tanpa sepatah kata, ia mengarahkan revolver kaliber .38 dan menembakkan lima peluru. Empat darinya menghantam tubuh Lennon. Darah mulai mengalir di trotoar kota yang tak pernah tidur. Lennon jatuh, tetapi dunianya—dan dunia kita—tak akan pernah sama.
Seorang Pemimpi di Tengah Kekacauan Dunia
John Winston Ono Lennon lahir di Liverpool pada 9 Oktober 1940, saat sirene perang membelah langit Inggris. Barangkali sejak awal hidupnya, Lennon sudah dirancang untuk menjadi pemberontak—bukan dengan senjata, tetapi dengan kata-kata.
Sebagai bagian dari The Beatles, Lennon tidak hanya mengubah musik, tetapi juga budaya populer. Dengan lirik yang sering melampaui tema cinta remaja, ia membicarakan kegelisahan, perubahan, dan pengharapan. Tapi setelah Beatles bubar, Lennon menemukan suaranya yang paling jujur. Bersama Yoko Ono, ia menciptakan musik yang tidak hanya indah, tetapi juga revolusioner.
Imagine, dirilis pada 1971, adalah mahakaryanya. Sebuah seruan untuk dunia tanpa batas, tanpa perang, tanpa perbedaan. Lennon adalah seorang utopis, tetapi ia tahu dunia tidak sempurna. “Aku bukan satu-satunya pemimpi,” tulisnya, tetapi ia juga tahu bahwa ia cukup keras kepala untuk menjadi yang pertama.
Malam yang Merenggut Dunia
Chapman, pria yang membunuh Lennon, mengaku melakukannya demi keabadian. Ironisnya, tindakannya membuat Lennon lebih abadi daripada sebelumnya. Dunia terguncang saat berita kematian Lennon menyebar. Di luar Dakota Building, ribuan orang berkumpul, menyalakan lilin, menyanyikan “Give Peace a Chance,” menangisi pria yang mereka anggap teman meski belum pernah bertemu.
Namun kematian Lennon bukan sekadar akhir. Itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Ia telah meninggalkan warisan berupa lagu-lagu yang berbicara lebih dari dirinya. Ia meninggalkan impian bahwa, bahkan di tengah tragedi, dunia masih bisa menjadi tempat yang lebih baik.
Kehidupan Setelah Lennon
Empat puluh empat tahun setelah malam yang dingin itu, nama Lennon masih menjadi simbol. Imagine adalah himne perdamaian. Dakota Building telah menjadi tempat ziarah, dan Strawberry Fields Memorial di Central Park adalah peringatan hidup tentang pesan yang ia tinggalkan.
Namun yang lebih penting, Lennon tetap menjadi ikon bagi siapa pun yang pernah merasa dunia ini terlalu keras dan bermimpi untuk sesuatu yang lebih lembut. Musiknya mengingatkan kita untuk terus membayangkan dunia yang lebih baik, meski tampak mustahil.
Malam terakhir Lennon adalah tragedi, tetapi hidupnya adalah karya seni. Dan seperti seni sejati, hidupnya terus berbicara, terus menginspirasi. Sebab, seperti yang ia nyanyikan, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”
Hari ini, dunia masih membutuhkan para pemimpi seperti John Lennon—dan kisahnya, meskipun menyakitkan, adalah pengingat bahwa cinta dan ide besar selalu layak untuk diperjuangkan.