INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Bernama lengkap Tirto Adhi Soerjo. Lahir di Blora, Jawa Tengah tahun 1880 dari keluarga bangsawan.
Ia adalah seorang perintis profesi kewartawanan dan penerbitan surat kabar di kalangan bumi putera.
Merupakan orang pertama dalam sejarah Indonesia yang merintis penggunaan surat kabar atau pers sebagai alat advokasi rakyat dan pembentuk pendapat umum.
Seorang yang dengan keberaniannya ikut menjadi salah satu penggerak kebangkitan nasional bangsa indonesia.
Tirto memiliki nama kecil Djokomono merupakan putra Raden Mas Ngabehi Tirtodhipoero. Seorang pegawai kantor pajak.
Status kebangsawanannya membuat Tirto muda diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan Eropa.
Titik yang menentukan dalam hidup Tirto terjadi saat ia bersekolah di Stovia, Sekolah Kedokteran Jawa di Batavia pada usia 14 tahun.
Lahir dari keluarga Aristokrat, ia berangkat dari keluarga priyayi. Namun di sekolah ini, Tirto berkenalan dengan beragam pergaulan dan pengetahuan.
Serta melihat realitas sosial yang sedang terjadi di Batavia, hal yang kemudian membebaskan hati dan pikirannya dari segala bentuk tata krama feodal.
Ia kemudian menjadi seorang yang egaliter dan tidak lagi merasa terbebani oleh gelar kebangsawanannya.
PENDIDIKAN
Tirto di Stovia mulai bersentuhan dengan istilah mordernisme, vereniging, vergadering dan segala hal yang datang dari alam pikiran modern.
Walaupun bersekolah di sekolah calon dokter, Tirto lebih tertarik untuk menjadi seorang wartawan.
Sejak masih belajar di Stovia, Tirto kerap mengirim tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Batavia.
Di sela-sela sekolahnya ia juga ikut bekerja sambilan di salah satu surat kabar di Hindia Belanda saat itu.
Sekitar tahun 1901 Tirto dipercaya menjadi Redaktur koran “Pembrita Betawi” hingga tahun 1903.
Di koran inilah kemudian Tirto digembleng untuk bisa mengabdi kepada kepentingan publik dan pembawa pendapat umum.
Pada tahun 1903, Tirto menerbitkan koran “Soenda Berita”, yang dalam sejarah pers nasional tercatat sebagai surat kabar pertama yang didirikan, dikelola, dan diterbitkan oleh warga bumi putera.
Sekitaran tahun 1905 Tirto mengembara ke Maluku, layaknya pemuda pada umumnya di sana ia jatuh cinta dengan seorang putri Raja Bacan, Princess Fatimah.
Seorang perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa Belanda.
MULO atau singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs merupakan Sekolah Menengah Pertama pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
LANGKAH AWAL SANG PEMULA
Perjalanan ke Maluku yang pada masa lalu menjadi titik awal penjajahan bangsa Belanda atas wilayah nusantara menimbulkan gelora dan semangat baru di hati Tirto.
Gelora yang dipicu kebencian pada praktek penjajahan ini mengubah bentuk dan gaya tulisan Tirto menjadi lebih garang dan lugas.
Pada tahun 1907, Tirto dan beberapa orang temannya menggagas penerbitan mingguan “Medan-Priyayi” (kemudian disingkat MP).
Pada dasarnya MP berawal dari sebuah organisasi pergerakan yang pernah didirikannya pada tahun 1906 yaitu Sarekat-Priyayi.
Ini kemudian ditiru oleh hampir semua organisasi pergerakan lainnya, yakni membuat organisasi dan memiliki corong yang namanya koran.
Melalui MP, Tirto memulai gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar terlebih dahulu dengan imbalan memiliki saham koran.
Hal ini semata-mata untuk menopang penerbitan. Ini merupakan sebuah bentuk perniagaan dan perusahaan pertama yang didirikan oleh pribumi.
Selain dikenal dengan “Sang Pemula” di ranah jurnalistik, Tirto Adhi Soerjo juga memiliki andil besar dalam dunia pergerakan nasional yang marak sejak awal dekade 1900an.
MEDAN PRIYAYI
Tirto Adhi Soerjo sadar betul bahwa koran itu penting, bukan hanya untuk penopang ekonomi tapi juga politik.
Sejak awal ia mengetahui bahwa koran/pers bisa menjadi motor penggerak pergerakan dan pembeda dua golongan besar masyarakat Hindia Belanda, yakni yang diperintah dan memerintah.
Kalimat itu persis seperti jargon MP “bangsa jang terprentah”, membaca dari jargon saja kita tahu bagaimana tendensi politik yang dibawa oleh MP.
Lewat MP, Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri yang tajam, radikal, dan penuh sindiran.
Tanpa takut ia menulis berbagai penyelewengan dan praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah kolonial dan para pejabat bumi putera.
Tirto Adhi Soerjo selain sebagai pendiri MP ia juga yang menjadi wartawannya.
Baginya berita itu harus dicari, berita itu tidak harus menunggu dari kantor berita Hindia Belanda. Proses pencarian itulah yang membawa Tirto ke dalam “petualangan politik”.
Dia keliling Jawa untuk mencari berita. Dari situlah kemudian banyak serpihan cerita yang tidak hanya menempatkan Tirto sebagai jurnalis, tapi juga pembela para narasumber di pengadilan Hindia Belanda.
DALAM PEMBUANGAN
Dikarenakan tulisan-tulisannya yang sangat berani, tokoh yang sangat mengagumi karakter Max Havelaar dalam novel karya Multatuli ini akhirnya kerap berurusan dengan aparat keamanan dan pengadilan tinggi Hindia Belanda.
Ia banyak melakukan kritik terhadap pemerintah, banyak memberikan ruang bagi suara-suara kaum petani dan orang-orang yang tertindas pada saat itu.
Pada tahun 1907, akibat dari tulisannya yang menyorot tajam praktek penyalahgunaan jabatan di Purwerejo. Tirto diseret ke pengadilan dan dijerat dengan delik pers, karena dianggap mengganggu Rust en Orde Kolonial, ia dibuang ke Lampung selama 3 bulan.
Selama di pembuangan ia terus menulis berita, sepulang dari pembuangan ia kemudian “berulah lagi” ketika mengungkap kasus korupsi di Jawa Timur, ia dianggap mengolok-olok Gubernur Jenderal.
Pada waktu itu Gubernur Jenderal datang melayat dengan diiringi sekitar 60 kereta kuda, bagi Tirto hal tersebut adalah pemborosan.
Tidak sepatutnya dilakukan hal seperti itu, apalagi setelah perang yang memakan banyak biaya, tak urung tulisannya dianggap sebagai penghinaan.
SAREKAT-PRIYAYI
Selain berkegiatan di bidang jurnalistik, Tirto Adhi Soerjo juga memiliki kesadaran tentang pentingnya gerakan di kalangan warga bumi putera.
Bersama beberapa koleganya di tahun 1906, mereka kemudian mendirikan organisasi Sarekat-Priyayi.
Pendirian organisasi yang dibentuk untuk memajukan kaum pribumi lewat pengajaran ini diumumkan melalui koran-koran yang berbahasa melayu di seluruh Hindia Belanda.
Sesuai dengan namanya Sarekat Priyayi hanya beranggotakan para priyayi dan tidak memiliki cita-cita politik apapun, namun masih tentang hal perniagaan/pedagangan.
Tirto juga terlibat dalam organisasi kebangsaan Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 1908.
Ketika Sarekat Priyayi dan Budi Utomo dirasakannya terlalu Elitis dan tidak bisa menjangkau masyarakat luas, Tirto meninggalkan dua organisasi yang beranggotakan kaum priyayi Jawa ini.
SAREKAT DAGANG ISLAMIYAH DAN KAUM MARDIKA
Pada 5 April 1909, Tirto mendeklarasikan organisasi baru dengan nama Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) di Bogor.
Dengan SDI bukan hanya terlepas dari jejaring priyayi namun juga bisa bergerak bersama kaum pedagang yang umumnya bebas dan berdikari.
Menurut saya hal menarik dari SDI ialah cikal bakal atau pikiran awalnya yang ia sebut dengan kaum mardika.
Dapat kita bayangkan di awal tahun 1920 ada orang yang berbicara tentang mardika / merdeka / kemerdekaan, itu adalah kata-kata yang tabu.
Dalam bahasa Tirto, kaum mardika ialah orang-orang yang penghidupannya tidak dibiayai oleh negara atau di dalam bahasa sekarang lebih kita kenal dengan nama PNS.
Siapakah mereka? mereka adalah kaum saudagar, pedagang, peladang, petani, tukang, dan banyak lagi profesi lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan pemerintah.
Mereka lah anggota-anggota yang diharapkan berkumpul oleh Tirto di dalam organisasi Sarekat Dagang Islam.
Untuk mencari pengurus yang baru saja didirikannya, ia kemudian bermuhibah ke Jawa Tengah.
Di sana ia bertemu dengan saudagar batik bernama Samanhudi, namun di dalam sejarah yang sudah kita baca sejak kecil yang diketahui oleh orang banyak, Samanhudi adalah pendiri SDI. Sesungguhnya Tirto Adhi Soerjo.
Saat Tirto dihukum buang di Maluku pada tahun 1913, Sarekat Dagang Islamiyah cabang Solo berubah nama menjadi Sarekat Dagang Islam.
SDI cabang Solo yang dipimpin oleh H. Samanhudi ini di kemudian hari semakin membesar dan memiliki basis pendukung yang luas saat mengubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dan dipimpin H.O.S Cokroaminoto.
POETRI HINDIA
Selain melahirkan Medan-Priyayi dan mendirikan Sarekat-Priyayi di tahun 1908 Tirto juga merintis pendirian surat kabar Poetri-Hindia yang menjadi koran pribumi pertama untuk perempuan.
Tirto yang sangat mendukung gerakan emansipasi perempuan juga menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa barat yang didirikan Dewi Sartika.
KESUKSESAN MEDAN PRIYAYI
Di sepanjang tahun 1909 hingga 1912 Harian Medan-Priyayi yang didirikan oleh Tirto menjelma menjadi surat kabar yang diperhitungkan.
Saat mencapai titik puncak kejayaan, koran ini sempat memiliki pelanggan hingga 2000 orang. Medan-Priyayi dianggap sebagai pelopor pers nasional hingga saat ini, jika kita lihat bukan cuma soal bahasanya yang lain tapi juga jangkauan distribusinya ke berbagai daerah Hindia Belanda bahkan sampai ke Ambon.
Dikarenakan pemberitaan-pemberitaanya yang berani Medan-Priyayi kerap menjadi sasaran serangan balik pihak-pihak yang merasa dirugikan. Keberanian Medan-Priyayi dan Tirto dalam mengkritik pemerintah kolonial seperti yang dilaporkan Dr. D.A. Rinkes pada Gubernur Jenderal juga membuat koran pribumi ini kerap mendapt gangguan dari rezim kolonial.
Kehadiran Medan-Priyayi mengubah spektrum perlawanan, Jika dahulu sebelum 1904 saat perang Aceh perlawanan itu bersifat lokal dan perlawanan frontal dengan senjata.
Medan-Priyayi mengubah pola tersebut, yakni dengan jalan jurnalistik. Hal tersebut merupakan hal yang benar-benar baru di masa itu. Pola yang dimulai Tirto di kemudian hari menjadi template bagi pergerakan selanjutnya, karena hal itulah Tirto dianggap sangat berbahaya.
AKHIR SANG PEMULA
Tirto bukan hanya seorang wartawan/jurnalis namun secara tidak langsung ia juga seorang aktivis politik yang juga memiliki peranan penting di dalam pendirian Serikat Dagang Islamiyah yang kemudian menjadi Serikat Dagang islam. Jadi dia adalah seorang wartawan yang memiliki kesadaran tentang melawan pemerintah kolonial itu sendiri, tidak hanya melalui bentuk tulisan namun terjun langsung dalam berorganisasi pergerakan pada saat itu.
Dua tahun berlalu saat ia pulang dari Ambon, suasana pulau jawa sudah berubah. Organisasi kebangsaan makin banyak lahir, puluhan tokoh muncul, dan meramaikan dunia pergerakan kebangsaan. Kepulangan Tirto luput dari perhatian kaum pergerakan, nama Tirto yang sudah tidak lagi memimpin atau bekerja di surat kabar juga makin dilupakan banyak orang.
Ada satu istilah dari Pramoedya yang menarik untuk menggambarkan tokoh ini untuk menghilangkan Tirto Adhi Soerjo, salah satu aksi polusional ialah “rumah kaca”. Semua arsip tentang dia disita supaya orang tidak kenal satupun, supaya namanya tidak melekat dalam sejarah.
Sahabat dekatnya di Sarekat Islam Batavia takut untuk menemuinya, ia dianggap sebagai monster tapi monster yang kesepian.
Pada tanggal 7 Desember 1918 setelah menderita sakit bertahun-tahun Tirto Adhi Soerjo menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan di kawasan Mangga Dua, Batavia, tanpa disaksikan banyak orang yang dulu segan atau menghormatinya.
SETELAH KEPERGIAN SANG PEMULA
Beberapa tahun setelah kematiannya, makam Tirto Adhi Soerjo dipindahkan keluarganya di Komplek Pemakaman di Bogor.
Atas jasa-jasanya pada tahun 1973 Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan gelar Bapak Pers Nasional pada Tirto Adhi Soerjo, gelar Pahlawan Nasional, kemudian juga dianugerahkan pada Tirto Adhi Soerjo 2006 silam.
Dari tokoh yang berakhir anti klimaks ini, ia mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi pergerakan di Indonesia. Bahwa Jurnalis bukan sekedar wartawan, bukan sekedar kuli tinta atau apapun namanya. Mereka adalah pemundak gerakan politik kebangsaan, mereka adalah yang paling pertama sadar dan berdiri paling depan untuk melawan kolonialisme dengan jalan pergerakan dan jusnalistik.
Perjuangan Tirto pada esensinya belum selesai hingga sekarang, tentang keinginannya menciptakan keadilan sejak dahulu tidak berhenti hingga sekarang.
Nilai itulah yang seharusnya diusung oleh jurnalis di zaman sekarang ini. Bekerja sebagai pembawa pikiran umum masih relevan untuk di masa sekarang. Jurnalis harus bekerja untuk kepentingan publik.
Dalam lintasan sejarah nasional, jejak perjuangan dan ilham yang diwariskan Tirto Adhi Soerjo tidak bisa dianggap remeh. Mengutip pendapat Takashi Shiraishi dalam bukunya “Zaman Bergerak” Tirto merupakan seorang bumi putera pertama yang menggerakkan bangsa Indonesia melalui tulisan.
Tidak berlebihan jika seorang sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer yang menjadikan sosok Tirto sebagai ilham penulisan Novel Tetralogi Buru menyebut Tirto sebagai “Sang Pemula”, seorang inisiator kebangkitan kesadaran nasional yang menjalankan langkah-langkahnya tanpa gentar, bermartabat, dan penuh percaya diri.