Oleh: Zainal Pikri
Gelombang protes besar-besaran yang dipimpin oleh Gen Z di Nepal pada September 2025 bukan sekadar soal media sosial. Aksi massa itu adalah luapan kemarahan terhadap berbagai masalah struktural yang sudah lama membusuk. Yaitu, korupsi, kolusi, nepotisme, krisis ekonomi dan minimnya lapangan kerja.
Selain larangan media sosial, protes juga dipicu oleh kemarahan terhadap elite politik yang korup dan anak-anak pejabat—disebut “Nepo Kids”, yang memamerkan gaya hidup mewah di media sosial.
Krisis ekonomi dan minimnya lapangan kerja mengakibatkan Gen Z Nepal frustasi dengan tingginya pengangguran dan kurangnya peluang ekonomi.
Konon demo itu diilhami dari gerakan protes di Indonesia. Namun, dalam skala yang lebih besar dan ekstrim. Seperti di Indonesia, Gen Z Nepal memadukan gerakan di media sosial dan aksi lapangan dalam menyuarakan tuntutan mereka.
Inilah wajah Monitory Democracy. Yaitu, demokrasi yang tak hanya hidup di ruang sidang atau kotak suara, tapi juga di media sosial dan aksi lapangan. Kedua ruang itu saling menopang, saling menguatkan. Teriakan di jalan menemukan gaungnya di dunia maya, sementara trending topic di dunia maya menjelma energi nyata di jalan.
Baca juga: Dangdut Caramel Macchiato Plus Cuka
Di zaman now, rakyat bukan lagi sekadar pemilih yang pasif. Mereka adalah “pengawas abadi” yang menyorot, menuntut, dan mengingatkan kekuasaan—baik lewat jempol di layar, maupun lewat kaki yang melangkah ke jalanan.
Di Indonesia, flexing di tengah retorika dan kebijakan efisiensi dan melambungnya kenaikan pajak di beberapa daerah serta pongahnya pejabat dalam bertutur dan bertindak, sementara rakyat berjuang demi sesuap nasi, dapat memicu pertanyaan tentang keadilan akibat kesenjangan sosial.
Rakyat yang serba kekurangan menyaksikan media sosial pejabat dan keluarganya memamerkan rumah megah dan mewah milik mereka. Mobil-mobil mewah berjejer di garasi, jam tangan mahal berkilau di pergelangan tangan, dan setiap unggahan di media sosial seolah menjadi panggung untuk memamerkan gaya hidup berlimpah.
Namun, di balik kemewahan itu, orang-orang berbisik. Dari mana semua harta mereka berasal? Banyak yang menduga kekayaan itu bukan lahir dari kerja keras yang tulus, melainkan dari korupsi dan penyalahgunaan kuasa. Dan di titik itulah, gemerlap flexing kehilangan sinarnya—sebab apa yang dipamerkan justru menampar nilai paling mendasar dalam hidup bersama: keadilan.
Flexing pejabat dan keluarganya dapat merendahkan martabat rakyat yang tidak memiliki kekayaan serupa, menciptakan rasa inferioritas dan kecemburuan sosial.
Kenapa rakyat pantas curiga dan cemburu? Karena pada dasarnya, rakyat adalah “pemilik sah” dari uang negara yang dikelola pejabat. Setiap rupiah pajak yang mereka bayarkan adalah hasil jerih payah: keringat buruh pabrik, pedagang kecil yang menghitung receh, guru honorer yang gajinya pas-pasan, hingga petani yang berjuang melawan harga panen yang tak menentu.
Maka, ketika pejabat dan keluarganya memamerkan rumah megah, mobil mewah, atau perhiasan berharga selangit, wajar bila timbul kecurigaan: apakah kekayaan itu benar-benar berasal dari usaha pribadi, atau justru dari uang yang semestinya kembali kepada rakyat?
Kecemburuan sosial pun bukan sekadar rasa iri biasa. Ia adalah bentuk luka batin kolektif. Rakyat merasa martabat mereka direndahkan, seolah pengorbanan mereka tak berarti apa-apa. Ketika mereka masih berjuang menutup biaya sekolah anak atau membeli beras, para pejabat justru berlenggak-lenggok dengan kemewahan di ruang publik. Mereka menari di atas penderitaan rakyat.
Di situlah ketidakadilan tampak paling telanjang. Mereka yang seharusnya melayani rakyat justru asyik memamerkan hasil dari kuasa. Flexing semacam ini bukan hanya mencolok, tapi juga melukai rasa keadilan yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan bersama. Mereka hapal Sila Kelima “”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, tapi tidak mengamalkannya.
Menyadari bahaya flexing bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan sejumlah langkah dan imbauan penting terkait situasi nasional setelah gelombang unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah sejak 25 Agustus 2025.
Dalam rapat koordinasi dan konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (Kompas, 2/9/2025), Tito memaparkan tujuh poin utama yang menjadi arahan pemerintah pusat kepada kepala daerah. Salah satu arahannya, yaitu himbauan agar pejabat daerah dan keluarga tidak memamerkan kemewahan.
Dalam rapat itu, Tito menegaskan larangan bagi kepala daerah maupun keluarganya untuk melakukan flexing atau pamer kemewahan. “Jangan sampai ada flexing kemewahan, baik pejabat maupun keluarga. Tolong ingatkan keluarga masing-masing. Terutama cara berpakaian, penggunaan cincin, jam tangan, perhiasan, hati-hati kendaraan. Situasinya sangat tidak bagus, sensitif,” kata Tito.
Ia mengingatkan, acara pribadi seperti resepsi pernikahan dan ulang tahun sebaiknya digelar secara sederhana agar tidak menimbulkan provokasi publik.
Imbauan itu terdengar seperti larangan makan gula bagi mereka yang sudah terlanjur kecanduan kue-kue manis. Apakah mereka mampu puasa pamer?
Flexing, bagi sebagian pejabat, sudah jadi semacam hobi keluarga. Anak pamer tas branded di Instagram, istri unjuk cincin berkilau di TikTok, sementara sang pejabat tersenyum bangga di samping mobil sport terbaru. Lalu, ketika menuai kritik, mereka buru-buru berkata, “Ini hasil usaha pribadi, bukan uang negara.”
Menurut beberapa sumber, pejabat-pejabat kini memarkir mobil Alphard mereka di dalam rumah dan menggantinya dengan Innova karena khawatir setelah demonstrasi. Selain itu, jam tangan Rolex mereka juga diganti dengan Seiko atau Casio. Ada kekhawatiran dan ketakutan di kalangan pejabat pemerintah setelah demonstrasi, dan mereka kini mulai diperhatikan siapa saja PNS yang memiliki jam tangan Rolex atau mobil mewah.
Secara etis, para pejabat dan keluarganya sebaiknya tidak pamer harta walaupun hasil usaha sendiri, apalagi hasil korupsi. Mereka yang belum jadi pejabat atau belum jadi anggota parlemen pun sebaiknya juga tidak pamer kemewahan. Rakyat yang lapar dan marah tidak bisa membedakan mana harta hasil usaha sendiri dan mana dari uang rakyat ketika seseorang jadi pejabat publik.
Mendagri mungkin benar. Flexing hanya akan melukai hati rakyat. Bagaimana tidak? Di satu sisi, rakyat antri berjam-jam untuk membeli beras murah, gas dan minyak. Di sisi lain, di media sosial keluarga pejabat sengaja pamer makanan atau sepotong roti yang harganya lebih mahal dari gaji sebulan guru honorer.
Imbauan itu, kalau dipikir-pikir, sebenarnya sederhana: jangan mempermalukan diri sendiri dengan pamer kekayaan yang meragukan asal-usulnya. Sebab, semakin mereka memamerkan, semakin rakyat yakin bahwa kemewahan itu bukan dari keringat, melainkan dari kuasa.
Dan di titik itulah, flexing pejabat bukan lagi sekadar gaya hidup—melainkan satire paling pahit tentang keadilan dan kesenjangan sosial di negeri ini.
Dari perspektif filsafat etika, terutama etika kebajikan Aristoteles, yang berfokus pada karakter moral seseorang, flexing dapat dilihat sebagai manifestasi dari sifat-sifat yang tidak terpuji seperti kesombongan, keserakahan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan.
Etika kebajikan menekankan pentingnya mengembangkan karakter yang baik, seperti kerendahan hati, kesederhanaan, kemurahan hati dan keadilan. Perilaku flexing justru menunjukkan kebalikan dari kebajikan-kebajikan ini, mengindikasikan fokus pada citra luar daripada substansi moral.
Sebagai bangsa yang beragama, terutama Islam, dalam etika Islam atau akhlak, flexing sangat dikecam dan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Flexing adalah perilaku akhlak tercela, yaitu riya’ (pamer), israf (berlebih-lebihan), takabbur (sombong). Ajaran Islam menekankan pentingnya kepedulian sosial, membantu fakir miskin, dan menjauhi sikap pamer yang dapat menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan.
Peristiwa Nepal mengingatkan kita bangsa Indonesia untuk mencegah protes lebih besar lagi, seluruh pejabat serta keluarganya untuk berhati-hati dalam bertutur dan bertindak. Berhentilah normalisasi flexing. Rakyat mengawasi.
*
Penulis adalah Dosen Filsafat UIN Antasari Banjarmasin