Satpol PP Kota Banjarmasin sudah mengeluarkan Surat Peringatan II kepada para penjual paring (bambu) di kawasan Siring dan Taman RK Ilir, Banjarmasin. Alasannya karena melanggar Perda Penyelenggaraan Kebersihan, Keindahan, Ketertiban, dan Kesehatan Lingkungan (K4).

Pertanyaan mendasar, sejak kapan jualan paring dianggap mengganggu K4? Bukankah jauh sebelum Pemko Banjarmasin terbentuk, sejak dahulu kala penjual paring sudah ada di sungai Martapura Banjarmasin? Sebab itu jangan lupa, ada rumah lanting yang bahannya terbuat dari paring. Bahkan rumah lanting pada 2019 telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kalau hanya soal estetika, kenapa tidak dibicarakan agar ditata dan dibuat menjadi indah? Kalau jualan paring ditertibkan atas alasan K4, bukankah kelak akan menjadi ancaman bagi pedagang lainnya. Bisa dibayangkan, pedagang kambing di kampung Arab yang juga berada di tepi sungai, jangan-jangan juga akan dituduh mengganggu K4? Pun pedagang galam di banyak tepi sungai yang sejak dahulu sudah ada, dan menjadi bagian dari kekhasan Banjarmasin, juga dapat saja terancam ditertibkan.

Jualan paring tidak haram, kenapa harus ditertibkan? Jualan paring justru melestarikan budaya karena bagian dari memanfaatkan produk lokal untuk menjadi bahan bangunan dan kebutuhan berbagai hal bagi warga kota.

Berjualan paring memang harus dekat dengan sungai, selain karena paring dibawa melewati sungai, juga agar bisa direndam sehingga kuat. Merendam paring di sungai, merupakan kearifan lokal – pengetahuan warga, agar paring lebih awet dan tidak mudah terkena rayap.

Harus dipahami, penjual paring telah melahirkan banyak kreativitas, karena paring sangat dibutuhkan warga. Boleh tanya, tiap bulan Agustus harga paring tinggi, karena dibutuhkan untuk memasang bendera dan umbul-umbul. Juga berfungsi untuk bahan bangunan, menjadi “andang” untuk membantu pekerja dalam membangun rumah, ruko dll, terutama untuk pekerjaan yang tidak terjangkau tangga. Kalau paring langka, pasti tukang bangunan mengalami kesulitan dalam pekerjaannya.

Menertibkan penjual paring, hanya akan menyusahkan warga yang sedang berusaha hidup melestarikan satu jenis pekerjaan yang sudah ada sejak beratus tahun lalu. Hanya akan menambah pengangguran, karena penjual paring akan kehilangan pekerjaan.

Mestinya, tugas Pemko Banjarmasin justru mendukung, membantu pengembangan pemanfaatan paring, agar nilainya menjadi tinggi karena diolah sedemikian rupa sehingga lebih estetik. Bukan menertibkan dan menambah luka bagi warga, karena akhirnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.

Kalau tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan, minimal jangan menghilangkan satu jenis lapangan pekerjaan halal, yang sudah digeluti warga sejak dahulu kala.

Oleh: Noorhalis Majid

Author