Oleh: Noorhalis Majid
Sore itu Rabu, 18 Desember 2024, Forum Ambin Demokrasi kembali menggelar diskusi politik dan demokrasi di Rumah Alam Sungai Andai, mengangkat satu tema yang lagi hangat diperbincangkan di ruang publik, yaitu wacana kembalinya Pilkada melalui DPRD. Hadir para tokoh sore itu, antara lain Muhammad Effendy, Abdul Haris Makkie, IBG Darma Putra, Berry Nahdian Furqon, Winardi Sethiono, Pathurrahman Kurnain, Sukrowardi, Fathurrahman, Murjani, Noorhalis Majid dan Lidia Agustina.
“Rasanya segala teori menyangkut sistem Pilkada sudah kita terapkan. Sejak Orde Lama, Orde Baru, sampai orde Reformasi, semua cara pemilihan yang diterapkan di berbagai negara, sudah kita duplikasi sebagai satu sistem yang dipakai dalam memilih kepala daerah. Anehnya, cara tersebut berlangsung sangat bagus serta ideal di tempat lain, namun kenapa di tempat kita menjadi buruk?”, kata Muhammad Effendy, mengawali paparannya.
Antara teori dan empirik sama sekali sangat berbeda. Mestinya secara teori tidak bermasalah, namun dalam praktiknya ternyata banyak penyimpangan. Bahkan berbagai instrument sudah diformulasikan agar tidak terjadi pembajakan, ternyata tetap bisa disiasati, dan akhirnya teori yang bagus itu pun nampak buruk. Saya menduga, penyebabnya ada pada mental. Mungkin mental kita sudah rusak, sehingga apapun gaya pemilunya, bahkan sudah habis semua ”gaya” yang berlaku di muka bumi ini, tetap empirisnya tidak baik, lanjut Muhammad Effendy.
Saya yang bertindak sebagai pemandu diskusi sore itu, kemudian meminta pendapat IBG Darma Putra, seorang dokter yang ahli kejiwaan untuk memberikan tanggapannya. Benarkah problem praktik demokrasi dan Pilkada kita pada soal mental?
“Boleh jadi pada soal mental, bahkan boleh jadi problem mental ini melanda seluruh level”, kata IBG Darma Putra membenarkan pendapat Muhammad Effendi, tapi semua itu didasari oleh banyak faktor, antara lain gini ratio kita yang sangat tinggi, karenanya harus ada upaya sungguh-sungguh untuk menurunkan gini ratio agar tidak terlalu lebar, sehingga tidak terjadi kesenjangan pendapatan yang sangat jauh di antara sesama warga. Yang kedua, tingkat IQ rata-rata warga, yang memberi pengaruh pada kemampuan literasi. Oleh sebab itu mesti diupayakan, bagaimana caranya agar IQ dinaikkan sedemikian rupa dengan berbagai program.
Saya lebih mengusulkan kita membenahi gini ratio dan IQ, dan bila itu sudah selesai, maka warga sudah siap Pilkada dilakukan secara langsung. Pada saat itu, mungkin politik uang sudah tidak laku lagi, karena warganya sudah terjamin ekonominya dan cerdas, tidak mudah ditipu. Karenanya biarlah untuk sementara, tentu dengan segala konsekuensi, kita kembalikan Pilkada dilakukan oleh DPRD, bersamaan itu warga dipersiapkan kemandirian dan kecerdasannya, lanjut IBG Darma Putra.
Kalau mengacu pada apa yang dilakukan banyak negara, maka yang utama yang dilakukan dalam mengatasi berbagai carut marut kondisi seperti ini adalah dengan melakukan penegakan hukum. Entah dari mana harus memulainya, karena hukum juga tidak terlepas dari politik. tapi seandainya hukum tegak, politik juga akan baik, sahut Winardi Sethiono.
Hal kedua, kata Winardi, partai juga harus berbenah, mestinya calon yang diusung dalam Pilkada, berasal dari kader partai. Minimal sudah menjadi kader paling sedikit 5 tahun. Sehingga partai bertanggungjawab atas calon yang diusungnya. Dan memimpin berdasarkan idiologi dan garis perjuangan partai. Bukan sebaliknya, partai hanya menjadi perahu tumpangan dari orang-orang yang tidak pernah mendapat pendidikan partai, akhirnya yang terpilih tidak mewakili dan membawa garis perjuangan partai.
Saya lebih sepakat kita terlebih dahulu membenahi sistem penyelenggaraan Pilkada, dari pada terburu-buru menyerahkan mekanismenya ke DPRD. Karena selain mundur ke belakang, juga belum tentu memperbaiki keadaan. Kita perbaiki mulai dari perekrutan petugas penyelenggara, baik KPU atau Bawaslu. Jangan sampai ada “titipan” yang membuatnya bekerja tidak independent.
Yang kedua, kalau problemnya pada tingginya biaya, maka penting dirumuskan Pilkada dengan sistem digital, sehingga dengan itu memangkas banyak hal menyangkut penyelenggaraan yang masih konvensional dan berbiaya tinggi, kata Sukrowardi, yang juga disetuju Murjani. Bahkan Murjani, menyoroti soal penyelenggara. Lebih khusus Bawaslu yang tidak berperan maksimal, sehingga ada baiknya kedepan dibubarkan saja. Pengawasan dikembali kepada warga melalui berbagai lembaga kemasyarakatan, termasuk perguruan tinggi.
Calon boleh saja dari luar partai, asal melalui konvensi yang ketat dan jujur. Sebab, di luar partai juga banyak calon yang mumpuni. Kalau semuanya dari partai, tentu orang potensial di luar partai tidak memiliki tempat. Penegakan hukum, penerapan berbagai aturan yang sudah disepakati, akan memberikan kepastian kepada semua orang. Sekarang ini serba tidak pasti, sehingga semuanya serba menggantungkan harapan pada pihak yang bisa mengatur dan mengendalikan hukum dan penegak hukum, kata Abdul Haris Makkie.
Setuju partai harus berbenah, namun semua itu akan jalan, bila hukum tegak berdiri. Cukup benahi 3 unsur saja, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, maka keadaan yang carut marut ini akan menjadi baik. Reformasi kepolisian, menjadi hal yang sangat penting, karena semua hal menyangkut penegakan hukum, berawal dari Polisi. Termasuk berbagai pelanggaran Pemilu yang terjadi, sangat bergantung pada independensi Kepolisian. Bila Polisinya baik, maka baik pula hukum kita, kata Berry Nahdian Furqon.
Saya melihat praktik politik kita lebih didominasi oleh politik informal. Oke proses formal berjalan sebagai mana ketentuan yang sudah dibuat, namun bersamaan itu informal yang mengandung unsur “transaksi” lebih dominan. Praktik ini sudah terjadi sejak zaman orde lama, berlanjut ke orde baru. Semua hubungan informal itu ada transaksi kepentingannya. Sehingga orang membangun hubungan satu dengan lainnya, disebabkan karena adanya kepentingan. Bagaimana agar “transaksi kepentingan” tidak menyandra substansi demokrasi, itu yang harus dipikirkan, kata Pathurrahman Kurnai.
Akhirnya, dialog sore itu memberikan catatan kesimpulan, bahwa perlu pembenahan dalam banyak hal, mulai dari “mental” dari semua level yang terlibat dalam politik, pembenahan perekrutan penyelenggara yang sarat “titipan” kepentingan, dan yang lebih mendasar, penegakan hukum, dimulai dari pembenahan para penegak hukum, terutama kepolisian. Agar polisi tetap independent, tidak dicurigai sebagai “partai coklat’, karena dianggap turut bermain dalam arena politik. Kalau semua hal itu tidak dibenahi, maka demokrasi tidak akan baik, walau sudah “mati gaya”.