Oleh: Novyandi Saputra
Kehilangan adalah sesuatu yang selalu menunggu di tikungan waktu. Ia tidak bisa dihindari, hanya bisa disikapi. Setiap orang punya caranya sendiri dalam menghadapi kehilangan. Ada yang menulis puisi, ada yang pergi jauh, dan ada pula yang menulis lagu.
Deorama, melalui Momen Terakhir Kita, memilih cara yang terakhir. Hasilnya adalah sebuah lagu yang terasa seperti menatap sisa percakapan terakhir yang ditutup dengan kata selamat tinggal.
Lagu “Momen Terakhir Kita” dari Deorama memulai dengan gesekan cello dan denting piano yang mendayu. Alunan melodi ini seperti menyuruh saya untuk menyiapkan ruang untuk tenggelam dalam kesedihan. Bahkan sebelum vokal pertama muncul, alunan melodi intro ini sudah menembalkan keyakinan saya bahwa ini akan menjadi lagu sedih seperti pada umumnya. Tapi kesedihan, kehilangan dan bahkan keikhlasan memang produk industri musik yang sangat populis sampai sekarang ini.
Sejak awal, lagu ini terdengar santai dan lembut. Suasana musikalnya seperti berjalan di tengah kabut, lambat tidak terburu-buru atau stagnan. Seolah-olah lagu ini ingin memastikan bahwa setiap kata bisa jatuh sebelum musiknya bergerak lebih jauh, ada sensasi panas yang lambat. Pilihan tempo yang lembut ini tepat karena ia membantu menghidupkan cerita lagu yang sedih. Rasa kehilangan dan keikhlasan yang coba disampaikan tidak ditunjukkan dengan tangisan yang keras, tetapi dengan suara yang tertahan, seperti seseorang yang mencoba bertahan di hadapan kenangan.
Baca juga: ARK “Mari Bertemu”: Nyanyian Pemanggil Kenangan
Lagu ini memiliki bentuk yang sangat populer baik dari sisi pola ritmenya dan juga progresi kordnya yang mudah ditebak. Lagu ini akan cukup familiar bagi mereka yang akrab dengan lagu-lagu cinta sedih. Kekuatannya terletak pada fakta bahwa lagu ini tidak berusaha untuk menjadi terlalu kompleks, karena pesannya berfokus pada perasaan yang tulus daripada musikalitas teknis. Setiap lapisan instrumen dan nada terdengar penuh perasaan, seolah-olah setiap elemen dalam lagu ini hanya ingin berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pesan yang lebih besar: keikhlasan.
Liriknya sendiri adalah drama penuh perasaan. Nada dramatik yang digunakannya untuk menulis liriknya terasa seperti curahan hati yang ditulis di tengah malam ketika seseorang benar-benar kehilangan arah. Jika dilihat dari perspektif yang berbeda, dramatisasi jenis ini mungkin tampak seperti hal yang kurang menarik. Tetapi dalam Deorama itu justru menjadi kekuatan cerita; Ia tidak mencari kebaruan, tetapi kejujuran.
Menariknya meskipun tampilannya yang lembut dan tenang, lagu ini tetap memiliki sedikit daya kejut. Melodi gitar yang keras di ujung lagu menjadi titik emosional yang sepanjang lagu ini tertahan. Distorsi gitar yang dimainkan Reza tidak terjadi secara agresif; sebaliknya, itu terjadi dengan lirih yang kemudian berkembang menjadi gelombang. Ia terdengar seperti puncak keputusasaan, bukan kemarahan. Segera setelah kalimat melodi gitar yang “marah” ini berhenti suasana Kembali menjadi seperti awal; lambat dan dramatis.
Bagian itu sepertinya bersifat simbolis, Deorama ingin mengatakan bahwa kata-kata tidak dapat mengungkapkan semua kesedihan. Kadang-kadang, hanya suara yang dapat menunjukkan retakan batin. Sementara melodi distorsi itu menjadi jembatan antara marah dan tenang, antara menerima dan menyerah.
Lagu Momen Terakhir Kita yang dinyanyikan Antra ini mungkin akan menjadi salah satu playlist lagu sedih dalam industri musik pop Indonesia hari ini. Namun lebih dari itu, lagu ini memiliki sesuatu yang lebih penting yakni kejujuran. Ia tidak bermaksud untuk menjadi sesuatu yang signifikan, tetapi ia berhasil menjadi sesuatu yang tepat. Lagu ini mengingatkan kita bahwa dalam industri musik yang semakin sibuk dengan formula, kesederhanaan bisa menjadi bentuk keberanian.
Konsep yang diusung Deorama dalam Momen Terakhir Kita adalah kejujuran tanpa topeng. Mereka tidak menyembunyikan kesedihan dengan gaya yang canggih. Mereka hanya menulis dan memainkan lagu seperti orang yang sedang menulis surat terakhir mereka. Deorama seolah mengingatkan bahwa kesedihan tidak perlu disembunyikan atau dipermak agar indah; ia cukup dinyatakan dengan kejujuran, karena di situlah letak keindahannya yang paling manusiawi.
Mungkin itulah sebabnya lagu ini begitu menarik. Ia tidak memberikan solusi atau dorongan untuk pemulihan segera. Lagu ini memberi simpulan seperti berbisik; “Ini rasanya kehilangan !!!” katanya. Kemudian kita semua tanpa sadarn mengangguk pelan karena kita semua pernah mengalaminya. Momen Terakhir Kita adalah pengakuan dan kerelaan, bukan sekadar lagu kesedihan. Kehancuran adalah sesuatu yang indah, dan perasaan dapat hancur dengan tenang. Selain itu, ketika distorsi terakhir mulai menghilang, yang tersisa hanyalah keheningan, ruang kosong di mana setiap individu dapat mengingat saat-saat terakhirnya.
*

Penulis adalah milanisti, dosen, & penabuh gamalan Banjar.





