Oleh: Nurhalis Majid

Saya pastikan, sejarah kelak akan mencatat, inilah Pilkada paling membingungkan – paling aneh bin ajaib di dunia, dimana tidak ada alternatif bagi warga memberikan suaranya. Hanya ada dua kemungkinan, memilih 01 atau suara dianggap tidak sah. Seperti final pertandingan, 01 VS Suara Tidak Sah.

Banyak yang hopeless, terasa percuma datang ke TPS. Untuk apa KPU dan seluruh penyelenggara dibayar mahal, kalau kerjanya justru mematikan demokrasi. Kenapa tidak sekalian saja langsung pelantikan? Tidak perlu ada Pilkada yang menguras waktu, tenaga dan biaya?

Saya tidak berkepentingan pada siapapun yang akan menang atau terpilih, saya berkepentingan menyuarakan prinsip-prinsip demokrasi yang memberi hak bagi semua orang secara setara, jujur dan adil memberikan suaranya.

Tidak bolah ada perampasan dan pembungkaman hak atas nama apapun, apalagi menggunakan institusi demokrasi bernama penyelenggara pemilu, untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Demokrasi ditemukan masyarakat modern, sebagai cara paling beradab mempergilirkan kekuasaan. Kalau demokrasi tidak ditemukan, mungkin saja pergiliran kekuasaan dilakukan dengan cara saling membunuh, sebagaimana dilakukan Ken Arok pada Tunggul Ametung dan banyak contoh lainnya, dimana kekuasaan dipergilirkan dengan laku kekerasan. Tentu kita bukan seperti itu, kita sangat beradab dan modern.

Karenanya jangan buat demokrasi menjadi barbar kembali. Bahkan seharusnya dirancang, dibuat dan dipraktikkan secara semakin modern dan canggih, agar demokrasi yang tidak final tersebut semakin sempurna.

Sekarang, segala yang terjadi di ujung kampung yang “di unjut”, informasinya dapat diakses di seluruh dunia. Apalagi praktik ini terjadi di pusat Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, kota dengan masyarakat terpelajar dan berpendidikannya tertinggi se-Kalimantan Selatan, tentu semua yang terjadi menjadi rujukan, menjadi contoh, suri tauladan, menjadi referensi dalam menjalankan demokrasi.

Author