Gugut itu menggigit dengan gigi depan, biasanya sambil ditarik. Seperti mengugut hampalam, tekstur dan rasanya dinikmati begitu lekat, karena gigi, bibir, dan lidah, semuanya berperan dalam menggugut.

Menggugut, bukan tentang berapa banyak yang dimakan dan ditelan, tapi seberapa lekat semuanya dinikmati dan rasakan.

Pun begitu dalam soal sampah, rasanya warga sudah seperti “menggugut” sampah, sebab semuanya, entah manis, asam, kecut, busuk, dirasakan dengan selekat dan segetirnya.

Jangan kira warga tidak berpartisipasi. Jangan tuduh warga tidak suka kebersihan. Harus ingat, warga membayar dalam pengelolaan sampah. Selain retribusi yang melekat pada pembayaran PDAM, mesti pula membayar pada petugas di lingkungan masing-masing, bahkan jumlahnya sangat besar, di komplek berkisar antara Rp.20.000 hingga Rp.50.000, bahkan ada yang Rp.100.000,-. Tentu sudah menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak mungkin dihadirkan pemerintah.

Sudahkah ada yang menghitung, berapa kontribusi warga dalam pengelolaan sampah? Termasuk pembayaran di lingkungan masing-masing. Benarkah semua dana yang dihimpun dicurahkan sepenuhnya untuk menangani sampah? Apakah pemerintah juga “menggugut” sampah dengan selekatnya, sehingga menjadikannya skala prioritas?

Karena dirasa kurang serius, dan tidak menjadi skala prioritas, maka wajar saja bila warga menggugat.

Menggugat, bertujuan mengingatkan peran dan tugas pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan. Hirarki pemerintahan, mestinya seperti satu tubuh yang saling menguatkan dan menyokong pelayanan. Untuk apa sanksi KLH, kalau justru melemahkan pemerintah kota? Kenapa pula pemerintah provinsi tega membiarkan pemerintah kota berjibaku mengatasi dampak dari sanksi yang tanpa solusi? Kenapa pemerintah provinsi tidak tergerak untuk turut membantu? Pun kenapa pemerintah provinsi dan kota sangat lamban dalam mengatasi masalah, sehingga berdampak pada kesehatan, pendidikan, budaya, dan citra baik warga kota? Rasanya aksi yang dilakukan, tidak semasif konten pencitraan yang diproduksi.

Menggugat, adalah bentuk partisipasi warga tentang ruang publik yang harus dibangun seimbang antara pemerintah, dunia usaha dan warga yang peduli.

Tidak mudah bagi warga untuk mau menggugat. Butuh kesadaran, keberanian dan komitmen, karena dibalik gugatan, ada pendidikan, edukasi dan literasi, tentang hak warga dalam bernegara.

Penulis: Noorhalis Majid

Author