INTERAKSI.CO, Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menjajaki langkah strategis untuk menambah impor dari Amerika Serikat senilai Rp318,9 triliun.

Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya memperkuat posisi tawar terhadap kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Presiden AS saat itu, Donald Trump.

Meskipun daftar rinci barang impor belum diumumkan, produk agrikultur disebut-sebut akan menjadi salah satu komoditas utama. Pasalnya, Indonesia telah menjadi pasar besar bagi ekspor agrikultur AS dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, di balik manuver diplomatik ini, muncul kekhawatiran besar di dalam negeri.

Pada Maret lalu, Kementerian Perindustrian mencatat bahwa sekitar 19 juta pekerja sektor manufaktur berisiko kehilangan pekerjaan jika arus produk impor murah tidak dikendalikan.

Industri nasional—yang sudah babak belur akibat krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi global—diprediksi akan semakin tertekan.

Baca juga: IHSG Anjlok Usai Lebaran, Dana Asing Kabur Rp35 Triliun Imbas Kebijakan Trump

Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyampaikan kekhawatirannya.

Menurutnya, jika pemerintah tidak mengatur dengan cermat, langkah ini bisa menjadi boomerang yang menghantam industri lokal secara telak.

“Selama ini saja kita sudah kesulitan menghadapi produk murah dari luar, banyak yang bahkan masuk secara ilegal. Jika rem impor dilepas, kita bisa menghadapi gelombang besar PHK, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik,” ujar Andry, dikutip dari Tempo.

Lebih jauh, Andry memperingatkan bahwa tambahan impor berisiko menggerus minat investasi di sektor industri dalam negeri. Pasar yang dibanjiri barang murah akan membuat investor enggan membangun pabrik karena margin keuntungan yang semakin kecil.

Pemerintah memang perlu memainkan strategi dagang global, tetapi tanpa proteksi dan pengawasan ketat, risiko jangka panjang terhadap tenaga kerja dan industri nasional bisa sangat besar.

Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan antara kepentingan diplomasi ekonomi dan perlindungan industri dalam negeri.

Author