INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Peradaban Hindu-Buddha di Pulau Kalimantan selalu identik dengan Kerajaan Kutai. Ini karena narasi soal sejarah kerajaan tertua di Indonesia salah satu ihwal paling awal yang disinggung dalam buku sejarah di sekolah.

Terlebih, kebanyakan orang mungkin menganggap Kerajaan Kutai adalah kerajaan bernapaskan Hindu tertua di Nusantara. Padahal, beberapa sumber tertulis mengenai kerajaan itu justru menunjukan gejala yang lain.

Sebagaimana disebut oleh Agus Aris Munandar dalam Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara (2017), tujuh prasasti yupā yang dianggap merepresentasikan eksistensi Kerajaan Kutai justru mengindikasikan eksistensi agama Weda, alih-alih aliran Hindu Trimurti yang sering kali diasosiasikan dengan ajaran Hindu dewasa ini.

Menurutnya, agama Weda adalah agama yang terlebih dahulu ada daripada agama Hindu Trimurti atau bahkan Buddha sekalipun. Berbeda dengan Hindu Trimurti yang lebih mengultuskan tiga dewa daur hidup (Brahmā, Wiśnu dan Śiwa), agama Weda lebih menekankan pemujaan terhadap dewa-dewa unsur alam seperti Indra (Dewa Hujan), Agni (Dewa Api), Vayu (Dewa Angin), dan sebagainya.

Menurut Hariani Santiko dalam “The Vedic Religion in Nusantara” (2013), indikasi kemunculan agama Weda di Kerajaan Kutai dapat ditelisik dari kebijakan Mulawarman yang melakukan suatu ritual kurban di Vaprakeśvara. Area ini merupakan tempat dihidupkannya api suci—sebagai perwujudan Agni, yang dianggap sebagai penghubung dunia manusia dan para dewa.

Popularisme narasi Kutai sebagai kerajaan Hindu tertua, selain memunculkan kesalahan penyampaian informasi sebagaimana disinggung di atas, juga seakan-akan telah menutup fakta bahwa tinggalan arkeologi bernapaskan Buddhisme juga jamak ditemui di Pulau Borneo.

Apabila sekarang konsentrasi umat Buddha terbatas di wilayah-wilayah padat permukiman Tionghoa seperti di Kalimantan Barat, maka Buddhisme di zaman kuno tersebar tinggalannya di berbagai tempat di Pulau Kalimantan.

Tinggalan-tinggalan ini memiliki karakteristik yang unik, karena mencirikan suatu gaya perpaduan Buddhisme Sumatra dan Jawa dengan sentuhan tradisi lokal Kalimantan. Secara kronologis, bahkan sebagian di antara tinggalan-tinggalan itu berasal periode-periode paling awal dari kedatangan ajaran Buddha di Nusantara.

Dari Pedalaman Kapuas sampai Selat Karimata

Dari segi tinggalan arkeologis, gejala kemunculan Buddhisme di Kalimantan tersebar di tiga lokasi. Situs paling monumental dan kemungkinan muncul paling awal adalah Situs Batu Pait yang terletak di Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.

Situs yang berdekatan dengan Sungai Tekarik dan Mahap ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1914.

“Dalam laporan itu disebutkan bahwa di tepi Sungai Tekarik (cabang Sungai Kapuas) ditemukan sebuah prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu granit yang berukuran 4×7 meter (tinggi empat meter merupakan tinggi yang tampak dari permukaan tanah),” tulis Bambang Budi Utomo dalam Candi Indonesia: Seri Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sumbawa (2014).

Prasasti-prasasti yang disebut oleh Utomo diapit oleh relief-relief stupa. Maka itu, alih-alih membangun stupa layaknya di Jawa atau Sumatra, biksu-biksu yang hidup di Batu Pait kuno memilih membuat reliefnya.

Prasasti-prasasti Batu Pait pernah dibaca oleh M.M. Soekarto K. Atmodjo, isinya keterangan status lokasi Batu Pait yang merupakan tempat tinggal para sramana (petapa). Berdasarkan angka tahun pada prasasti itu, Situs Batu Pait telah berkembang pada tahun 578 Saka atau 656 Masehi.

Kedudukan Situs Batu Pait menurut beberapa peneliti erat kaitannya dengan situs yang letaknya cukup jauh dari situs di pedalaman Kalimantan itu, yakni Situs Gunung Totek di Pulau Maya—pulau di barat daya daratan Pulau Kalimantan.

Dikutip dari tulisan Eko Herwanto berjudul “Pulau Maya dan Hubungannya dengan Segitiga Emas Sumatera-Jawa-Kalimantan pada Masa Klasik” (2010), di Situs Gunung Totek ditemukan relief stupa seperti di Situs Batu Pait.

Walaupun relief stupa itu menandakan komunitas Buddha yang menghuni Gunung Totek di masa lalu, di situs yang terisolasi dengan rawa itu juga dijumpai Arca Nandi—figur sapi jantan yang dipercaya sebagai kendaraan Dewa Śiwa.

Selain itu, di Situs Gunung Totek juga ditemukan beberapa arca lain yang sulit diidentifikasi ketokohannya. Arca-arca inimasih bisa diidentifikasi gaya pengarcaannya, para peneliti menduga arca-arca dari Gunung Totek memiliki pengaruh gaya Khmer/Champa.

Pengaruh Sriwijaya dan Perkembangan Sinkretis

Keberadaan temuan-temuan di Situs Gunung Totek (termasuk temuan di Batu Pait) menurut Herwanto mungkin sekali bertalian dengan jalur keagamaan Hindu-Buddha yang membentang dari pantai timur Sumatra sampai pesisir utara Jawa.

Hal ini karena gaya ikonografi pada temuan-temuan di situs ini memiliki kemiripan dengan tinggalan dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka dan Situs Batujaya di Karawang.

Difusi kebudayaan di antara tiga pulau itu diduga berkembang bersamaan dengan kebangkitan Śrīwijāya di sekitar abad ke-7, yang menurut Prasasti Kota Kapur (688 M) melangsungkan invasi ke Pulau Jawa.

Temuan-temuan pendukung lain yang menunjukkan pengaruh Śrīwijāya adalah temuan Arca Buddha Dipangkara dan fragmen prasasti di aliran Sungai Amas di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Menurut Utomo dalam Candi Indonesia: Seri Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sumbawa (2014), Arca Buddha itu dari segi ikonografis memiliki keistimewaan karena memiliki gaya pengarcaan Dwarawati yang berkembang di sekitar abad ke-7 sampai dengan abad ke-8 M. Arca dengan tokoh dan model penggayaan demikian memang pernah pula ditemukan di Situs Bukit Siguntang di Kota Palembang.

Bedanya, apabila di Sumatra Arca Dipangkara dibuat pada batu dan berukuran sebesar tubuh manusia, Arca Dipangkara dari Sungai Amas dibuat dari logam dan ukurannya hanya 21 cm. Fragmen prasasti yang berasosiasi dengan Arca Dipangkara ditulis dalam bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa.

Walau prasasti itu ditulis tidak lengkap (hanya berbunyi “ya siddha”), para peneliti menduga bahwa isi prasasti itu berkaitan dengan ritual siddhayatra atau perjalanan suci. Ritual ini juga dapat ditemukan pada prasasti-prasasti Śrīwijāya, terutama pada Prasasti Kedukan Bukit (682 M) dari daerah aliran Sungai Musi.

Walau mendapat pengaruh Śrīwijāya, bukan berarti perkembangan ajaran Buddha di Kalimantan tidak mengalami vernakularisasi sama sekali. Di Gua Gunung Kombeng di Kalimantan Timur misalnya, Utomo menyebut soal keberadaan beberapa arca berukuran proporsional dari abad ke-8/9 M yang menggambarkan tokoh-tokoh parswadewata (dewa-dewa keluarga Śiwa) yang disejajarkan dengan tokoh Vajrapani—salah satu Boddhisatwa dalam Buddha Mahayana dan Vajrayana.

Secara konseptual, peletakan arca beranasir Hindu dan Buddha dalam satu lokasi peribadatan memang dikenal di Śrīwijāya, misalnya pada Percandian Bumiayu. Namun, pemanfaatan gua sebagai lokasi peribadatan dua agama dalam hal ini bisa dianggap lebih merupakan kearifan lokal masyarakat Kalimantan Kuno.

Sumber: Tirto.id

Author