Oleh Novyandi Saputra

Hal pertama ketika saya menonton sebuah pertunjukan adalah tidak memasang ekspektasi terlalu tinggi. Cukup hadir menikmati dan mengambil hikmah dari apa yang dipertunjukan. Hal ini juga berarti saya mencoba untuk melepaskan segala bentuk persepsi artistik yang mungkin sudah ada berdasarkan pengalaman menonton dan merasakan banyak pertunjukan seni.

Robert Pinget adalah seorang penulis dan dramawan Perancis yang dikenal dengan karyanya yang eksperimental dan sering kali menggali tema-tema eksistensial dan krisis identitas. Salah satu karya pentingnya adalah Prabu Maha Anu (Judul aslinya dalam bahasa Prancis: L’Inquisitoire), yang diterbitkan pada tahun 1962. Naskah ini mencerminkan pendekatan Pinget terhadap narasi dan karakterisasi, di mana dia kerap bermain dengan struktur dan bahasa untuk mengeksplorasi kompleksitas manusia.

Saya mencoba mencari tahu apa yang terjadi dalam kurun 5 tahun terakhir di Perancis saat Pinget menulis naskah tersebut.

Beberapa literatur menjelaskan bahwa pada era itu Perancis sedang mengalami perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat signifikan. Beberapa hal yang terjadi pada masa itu antara lain; Pada tahun 1958, Charles de Gaulle kembali ke kekuasaan dan membantu membentuk Republik Kelima Prancis. Ia kemudian menjadi Presiden pada tahun 1959. Kepemimpinannya ditandai oleh reformasi politik dan administrasi yang signifikan. Prancis mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan selama periode ini, sering disebut sebagai “Trente Glorieuses” atau “Tiga Puluh Tahun Keemasan” (1945-1975).

Pertumbuhan ekonomi ini disertai dengan perubahan sosial yang cepat, termasuk urbanisasi, peningkatan standar hidup, dan perubahan dalam struktur keluarga dan pekerjaan. Pada periode ini, Prancis juga mengalami kebangkitan budaya. Ada perkembangan penting dalam seni, sastra, dan film.

Tahun 1960-an dikenal dengan gerakan “Nouvelle Vague” (Gelombang Baru) dalam perfilman Perancis, yang dipelopori oleh sutradara seperti François Truffaut dan Jean-Luc Godard. Tahun-tahun ini juga melihat awal dari ketidakpuasan sosial yang akan memuncak pada Mei 1968. Meskipun puncak dari protes mahasiswa dan pekerja terjadi setelah 1962, banyak isu sosial dan ekonomi yang memicu protes ini mulai muncul selama awal 1960-an.

Prabu Maha Anu menggunakan struktur naratif yang tidak linear dan fragmentaris, mencerminkan kebingungan dan disorientasi yang dialami oleh karakter-karakternya. Ini merefleksikan krisis identitas di mana alur pikiran dan perasaan seseorang terasa terpecah-pecah dan tidak teratur.

Karakter-karakter dalam Prabu Maha Anu sering kali digambarkan dengan identitas yang kabur atau tidak jelas. Mereka mungkin berjuang untuk memahami diri mereka sendiri atau tempat mereka dalam dunia, yang mencerminkan krisis identitas yang mereka alami. Pinget sering mengangkat tema eksistensial dalam karyanya, mempertanyakan makna keberadaan dan identitas. Dalam Prabu Maha Anu, kita melihat karakter-karakter yang terjebak dalam pencarian makna yang tidak pernah terwujud sepenuhnya, mencerminkan perasaan hampa dan kehilangan arah yang sering menyertai krisis identitas.

Pada pertunjukan Prabu Maha Anu garapan sutradara Bayu Bastari, saya pribadi justru melihat kejelasan identitas sang sutradara. Hal ini bisa nampak dilihat dari medium kostum mamanda yang begitu dominan digunakan sebagai media ungkap. Bukannya menegaskan soal krisis identitas, Bayu justru terjebak pada realisme identitasnya sendiri yang bertubuh tradisi, tekstual, dan cenderung logis. Saya sering melihat tiga poin ini pada beberapa karya yang disutradarai oleh Bayu Bastari. Selain itu tentu saya juga melihat keragu-raguan Bayu dalam bermain abusrditas. Bayu seakan tidak bisa keluar dari logika-logika realisme teater khas Stanislavski yang mencoba membangkitkan emosi dan memori afektif.

Bukannya menegaskan soal krisis identitas, Bayu justru terjebak pada realisme identitasnya sendiri yang bertubuh tradisi, tekstual, dan cenderung logis.

Sistem ini bisa terlihat jelas dari bagaimana Baga menghadirkan dirinya dengan begitu emosional daripada hadir sebagai lawan Raja dalam mematahkan sistem normalitas bahasa agar membentuk pola abusrd. Apa yag terjadi pada Baga akhirnya berimplikasi pada gaya dan pembentukan karakter sang Raja dalam pementasan ini. Saya juga menduga hal ini berkaitan erat karena pemeran Baga ialah sang Sutradara itu sendiri sehingga sudut pandang Baga sebagai sentral pertunjukan sangat begitu kuat.

Pinget bermain dengan bahasa dan komunikasi dalam naskah ini, menunjukkan bagaimana karakter-karakternya berjuang untuk mengekspresikan diri atau dipahami oleh orang lain. Ini mencerminkan kesulitan dalam membentuk identitas yang koheren ketika bahasa, alat utama kita untuk mendefinisikan diri, terasa tidak memadai atau tidak efektif.

Kemudian saya mencoba mengaitkan tema Pinglet dengan Prabu Maha Anu-nya dengan apa yang terjadi hari ini. Bagi saya tentu saja bahwa seorang sutradara sudah seharusnya mampu menciptakan narasi baru terhadap naskah yang dipentaskannya. Ketika dia mampu memberi perspektif yang memiliki korelasi dengan isu hari ini maka akan mudah untuk menyentuh hati para penontonnya. Krisis identitas dalam Prabu Maha Anu karya Robert Pinget digambarkan melalui struktur naratif yang fragmentaris, karakter-karakter dengan identitas yang tidak jelas, tema-tema eksistensial, dan permainan bahasa. Semua elemen ini bekerja sama untuk menciptakan gambaran tentang kebingungan dan disorientasi yang dialami oleh individu-individu yang berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa mereka dan apa tujuan mereka dalam hidup. Dengan cara ini, Pinget berhasil menangkap esensi dari krisis identitas dalam bentuk sastra yang inovatif dan menggugah.

Bagi saya tentu saja bahwa seorang sutradara sudah seharusnya mampu menciptakan narasi baru terhadap naskah yang dipentaskannya. Ketika dia mampu memberi perspektif yang memiliki korelasi dengan isu hari ini maka akan mudah untuk menyentuh hati para penontonnya.

Jika merujuk pada tema isu Pinget yakni perihal krisis identitas manusia secara umum yang digambarkan dalam tiga tokoh utama pada pementasan kali ini. Muncul pertanyaan kemudian, apakah krisis identitas yang tersaji di atas panggung masih relevan dengan krisis-krisis identitas manusia hari ini? Atau jangan-jangan ini hanya sekadar kumpulan krisis identitas masa lalu yang gamang, tidak menyadari ada beban narasi sejarah sosial budaya Perancis yang melingkupi naskah itu, sehingga apa yang tersaji tidak realetable dengan kenyataan penontonnya. Saya teringat dengan pandangan Harari dalam buku Homo Deus.

Menurutnya bahwa dalam era di mana kecerdasan buatan mungkin melampaui kecerdasan manusia, nilai dari kerja manusia dan peran manusia dalam masyarakat dipertanyakan. Jika AI (Artificial Intelegency) bisa melakukan pekerjaan lebih efisien, apa yang tersisa untuk manusia lakukan? Ini bisa memicu krisis identitas kolektif, di mana manusia harus mencari arti dan tujuan baru dalam hidup.

Dengan kemampuan untuk mengedit gen dan menciptakan bentuk kehidupan baru, standar moral dan etika tradisional diuji. Apa yang benar dan salah dalam konteks kemampuan baru ini? Bagaimana manusia mendefinisikan diri dalam dunia di mana mereka memiliki kekuasaan seperti dewa atas kehidupan?

Pengejaran kebahagiaan melalui teknologi, seperti penggunaan obat untuk mengatur suasana hati atau realitas virtual, bisa mengubah cara manusia mengalami hidup. Ini bisa mengarah pada krisis identitas pribadi, di mana individu merasa terputus dari pengalaman otentik dan makna hidup yang mendalam.

Dalam konteks masa kini, banyak dari isu yang diangkat Harari dalam “Homo Deus” sudah mulai terasa: Kehadiran media sosial dan teknologi digital mengubah cara manusia melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia. Identitas sering kali dibentuk oleh persona online yang bisa berbeda jauh dari kehidupan nyata.

Kemajuan dalam teknologi biomedis, seperti CRISPR dan prostetik canggih, memunculkan pertanyaan tentang identitas tubuh dan batasan manusia. Ketakutan kehilangan pekerjaan karena automasi dan AI memaksa manusia untuk mendefinisikan ulang peran mereka dalam ekonomi dan masyarakat. Perubahan cepat dalam nilai-nilai sosial dan budaya juga berkontribusi pada krisis identitas, terutama ketika norma-norma lama berbenturan dengan perkembangan baru.

Krisis identitas yang dihadapi manusia masa kini bukan soal posisi manusia tersebut dalam strata-sosial, karena menggambarkan bagaimana perubahan radikal dalam bioteknologi, kecerdasan buatan, dan teknologi lainnya dapat mengubah cara kita memahami diri kita sendiri dan peran kita di dunia. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita harus hidup dalam era baru ini adalah pusat dari tantangan identitas yang kita hadapi hari ini.

Saya ingin menganalogikan sutradara dengan chef. Menurut saya menjadi seorang chef adalah kemampuan mengenal rasa dan bumbu-bumbu. Bagaimana memadupadankan semua menjadi satu. Sutradara juga harusnya memiliki banyak sudut pandang dan tidak melulu soal teknis pemanggungan dan keaktoran. Namun lebih dalam perihal referensi-referensi yang membuat deferensiasi dengan banyak hal. Persinggungan ini kemudian yang mampu menciptakan kedekatan isu dengan penontonnya.

Bukankah pada dasarnya tujuan dari sebuah pementasan karya pertunjukan adalah untuk memberikan pesan-pesan yang berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekitar kita? Kecuali memang kita hanya memposisikan pertunjukan (karya) kita sebagai gerak eksistensi sebagaimana yang dikritisi oleh Pinget dalam naskah Prabu Maha Anu Ini. Entahlah.

*

Penulis adalah Dosen Seni Pertunjukan FKIP ULM Banjarmasin.

Author