Joget yang dibawa dari panggung hiburan ke ruang parlemen menjadi problematik di mata publik karena melanggar aturan tak terucapkan dari dua “permainan bahasa” yang berbeda.

 

Akhir-akhir ini di Indonesia, kita menyaksikan beberapa anggota parlemen (DPR) yang bertutur dan bertindak yang dipandang tidak pantas oleh publik. Fenomena ini memicu kritik keras karena perilaku itu dinilai tidak mencerminkan martabat seorang wakil rakyat.

Anggota DPR kerap menggunakan bahasa yang memicu kemarahan publik. Diksi yang digunakan sering kali dianggap sebagai bentuk arogansi, ketidakpekaan, atau penghinaan terhadap rakyat.

Bahasa yang menyakiti itu meliputi bahasa verbal dan non-verbal. Kasus Bupati Pati contoh sempurna bagaimana diksi dan tindakan arogan seorang pemimpin dapat merusak hubungan dengan rakyat, mengikis kepercayaan, dan bahkan memicu krisis politik yang berpotensi melengserkannya kekuasaan.

Kontroversi Bupati Pati, Sudewo bermula dari kebijakannya menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% dan diperparah oleh pernyataan-pernyataan yang dianggap menantang serta merendahkan masyarakat.

Lalu disusul peristiwa pada tingkat nasional. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menyebut pihak-pihak yang menyuarakan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia.”

Pernyataan Sahroni muncul di tengah gelombang demonstrasi yang marak di beberapa wilayah Indonesia, di mana tuntutan untuk membubarkan DPR menjadi salah satu isu utama. Protes ini dipicu oleh sejumlah kebijakan dan isu, termasuk dugaan korupsi dan ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR.

Anggota DPR lainya, Deddy Sitorus, seorang politisi PDI Perjuangan, menggunakan kata “rakyat jelata”. Dalam sebuah pernyataan yang viral di media sosial, Deddy menyatakan bahwa anggota DPR tidak boleh dibandingkan dengan rakyat jelata. Pernyataan ini dianggap arogan dan menimbulkan reaksi negatif dari publik, yang merasa bahwa anggota DPR berada di atas rakyat biasa.

Kata “rakyat jelata” memiliki konotasi historis yang melekat kuat dan sangat problematik dalam konteks Indonesia modern. Secara harfiah, “jelata” berarti rakyat biasa yang tidak punya pangkat atau jabatan. Zaman dulu kala kata ini digunakan untuk membedakan antara bangsawan atau kaum elite (aristokrat) dan rakyat biasa yang dianggap lebih rendah.

Kata “rakyat jelata” yang feodal itu ketika digunakan oleh pejabat di era modern menciptakan dan memperkuat dikotomi antara “mereka yang berkuasa” dan “mereka yang dikuasai.” Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya menempatkan semua warga negara sebagai setara.

Lalu disusul oleh Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar, Adies Kadir, yang menjelaskan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sebagai “hal wajar.” Publik geram karena pernyataan tersebut dianggap tidak berempati terhadap kondisi ekonomi rakyat dan ketika banyak rakyat belum punya tempat tinggal yang layak.

Tunjangan rumah anggota DPR didukung oleh anggota DPR, Nafa Urbach, dari Fraksi Partai NasDem. Ia menggunakan kata “Saya aja…macet” karena rumahnya jauh dari gedung DPR. “Saya aja yang tinggalnya di Bintaro, macetnya luar biasa”, ujarnya.

Keluhannya mengenai kemacetan yang ia alami dari Bintaro ke gedung DPR dianggap tidak etis di mata publik. Pernyataannya menunjukkan bahwa ia gagal menjalankan perannya sebagai wakil rakyat yang berempati dan memahami realitas, alih-alih ia hanya berfokus pada masalah pribadinya, “Saya aja.”

Selain tutur kata yang nir empati, tindakan tidak simpatik juga datang dari beberapa anggota DPR seperti Anggota DPR Fraksi PAN, Surya Utama (Uya Kuya), dan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), serta Sadarestuwati dari Fraksi PDIP.

Mereka melakukan tindakan atau bahasa tubuh yang tidak etis. Mereka berjoget di ruang Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025 di tengah kritik publik terhadap isu kenaikan gaji anggota DPR dan ketika rakyat sedang berjuang di tengah himpitan ekonomi.

Dalam filsafat bahasa, menurut teori Permainan Bahasa (Language Games) Ludwig Wittgenstein, setiap tempat, konteks, dan komunitas memiliki bahasa dan kosakata yang khas. Kata-kata yang etis atau pantas di satu “ruang permainan” bisa jadi tidak etis atau bahkan melanggar aturan saat digunakan di ruang yang lain.

Setiap komunitas dan konteks memiliki bahasanya sendiri dengan aturan dan kosakata spesifik. Makna sebuah kata tidaklah tetap, melainkan ditentukan oleh cara penggunaannya dalam “permainan” tersebut.

Misalnya, dalam ruang santai seperti warung kopi, kata-kata informal seperti “tolol” atau “maling” mungkin dianggap lumrah dan wajar sebagai ekspresi emosi, karena tujuan permainannya adalah menciptakan keakraban.

Namun, ketika kata-kata yang sama digunakan di ruang formal seperti parlemen dan percakapan tentang kebijakan publik yang kritis dan serius, yang memiliki aturan kaku dan bertujuan untuk membuat keputusan serius, penggunaannya menjadi tidak etis dan melanggar aturan. Penggunaan diksi tidak pada tempatnya menciptakan masalah karena mencampuradukkan dua permainan bahasa yang berbeda, merusak martabat, dan mengikis kredibilitas pembicara di mata publik.

Joget yang dibawa dari panggung hiburan ke ruang parlemen menjadi problematik di mata publik karena melanggar aturan tak terucapkan dari dua “permainan bahasa” yang berbeda.

Aturan permainan bahasa di panggung hiburan mengizinkan dan bahkan mendorong ekspresi fisik yang berlebihan, termasuk joget. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian dan menciptakan suasana riang. Bahasa tubuh yang ekspresif adalah bagian dari “permainan” di panggung.

Sementara itu, permainan bahasa di parlemen memiliki aturan yang sangat berbeda. Tujuannya adalah membuat kebijakan, melakukan legislasi, dan mewakili rakyat secara serius. Aturan mainnya mencakup penggunaan bahasa dan gestur yang formal, terstruktur, dan mencerminkan otoritas.

Ketika anggota DPR berjoget di ruang parlemen, dia melanggar aturan main dari permainan bahasa tersebut. Tindakannya tidak lagi berfungsi untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari konteks parlemen.

Tindakan joget dapat dianggap sebagai “bahasa yang sedang berlibur” (language on holiday), bahasa yang tidak lagi berada di rumahnya. Maknanya tidak lagi jelas atau relevan dengan situasi, sehingga mengganggu komunikasi dan menciptakan kebingungan atau kemarahan publik. Gestur mereka tidak memiliki tempat dalam permainan bahasa yang sedang berlangsung.

Kedepan anggota parlemen perlu berbenah, jangan lagi punya rumah mewah dan megah, tapi tidak ada koleksi buku, apalagi rak buku dan ruang perpustakaan. Kita patut malu kepada para pendiri bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka yang gemar membaca.

Supaya akrab dan terbiasa dengan bahasa demokrasi, anggota parlemen perlu bergaul dan rajin ngobrol dengan kalangan akademisi dan aktivis demokrasi. Mereka juga perlu banyak membaca untuk menambah khazanah pengetahuan tentang demokrasi.

Melakukan percakapan langsung dengan aktivis demokrasi dan memperkaya bacaan tentang demokrasi dapat memberikan dampak signifikan pada cara anggota DPR berkomunikasi dan bertindak.

Berinteraksi dengan aktivis demokrasi dan orang-orang yang sering bicara dengan kosakata demokrasi memungkinkan anggota DPR untuk memahami bahasa dan aspirasi dari gerakan akar rumput.

Diksi yang digunakan oleh aktivis sering kali lebih langsung, berfokus pada isu-isu substantif seperti keadilan, kesetaraan, dan hak-hak warga negara. Melalui percakapan ini, anggota DPR bisa mengadopsi kosakata yang pro-rakyat dan menghindari bahasa yang kaku atau elitis. Hal ini akan membantu mereka menjembatani kesenjangan komunikasi dengan masyarakat dan membangun kembali kepercayaan publik.

Membaca literatur tentang demokrasi, baik yang klasik maupun kontemporer, adalah kunci untuk menghindari penggunaan kosakata feodal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kosakata feodal, seperti “rakyat jelata” atau bahasa yang merendahkan, mencerminkan pola pikir hierarkis di mana ada “penguasa” dan “yang dikuasai.” Dengan memperkaya pemahaman tentang demokrasi, seorang anggota DPR akan secara sadar memilih diksi yang mencerminkan kesetaraan dan pelayanan publik, bukan arogansi kekuasaan. Bekal pengetahuan ini membantu mereka melihat diri sendiri sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai tuan yang harus dihormati.

Diksi seorang anggota DPR adalah cerminan dari pola pikir mereka. Dengan secara aktif mengadopsi bahasa demokrasi dan menghindari kosakata feodal, mereka tidak hanya meningkatkan komunikasi, tetapi juga memperkuat fondasi institusi demokrasi itu sendiri.

Penulis: Zainal Pikri
Dosen Filsafat UIN Antasari Banjarmasin

Author