Kami semua yang hadir (2/8/2025), melantai lesehan di ruang Gramedia Veteran. Ini merupakan bulan kedua giat literasi mendiskusi buku-buku lokal yang ditulis oleh orang lokal, kerja bersama sejumlah lembaga, antara lain Ambin Demokrasi, Dispersib Kota Banjarmasin, Rumah Alam Sungai Andai, Kampung Buku, LK3 Banjarmasin, PSMTI dan tentu saja Gramedia Veteran.
Kali ini buku Tionghoa Banjar yang dikupas, tema spesifiknya tentang kepahlawanan Tionghoa Banjar. Dalam buku setebal 500 halaman tersebut, memang ada mengulas tentang peran dan kiprah warga Tionghoa dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan.
Hadir sebagai pemantik Harun Al Rasyid, seorang alumni FKIP Jurusan Sejarah ULM yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Harun secara khusus mengangkat tema skripsinya tentang kepahlawanan Tionghoa Banjar.
“Saya ingin menguji hipotesa, bahkan warga Tionghoa tidak hanya berdagang, menggeluti bisnis atau membangun berbagai usaha di bidang ekonomi. Berdasarkan penelitian saya, ternyata banyak juga warga Tionghoa Banjar yang terlibat dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan”, kata Harun memulai paparannya.
“Penelitian ini mempertegas bahwa warga Tionghoa Banjar juga turut berjuang. Jadi kalau ada yang mengatakan perannya sangat kecil, maka tentu saja salah. Peran mereka bukan hanya berada di garis depan bersama perjuang pribumi, namun juga ada yang mendukung logistik, informasi atau membantu mencetak surat kabar, selebaran dan berita untuk didistribusikan secara luas, sehingga dengan itu informasi terkait politik dan upaya perjuangan mempertahankan kemerdekaan dapat diketahui secara luas”, kata Harun.
Diskusi sore itu juga mengundang 3 narsumber yang sangat berkompeten, yaitu Wajidi Amberi, seorang arkeolog; Sugiharto Hendrara, pengamat sejarah Tionghoa; dan Mansyur, sejarawan dan pengajar ilmu sejarah di FKIP ULM.
Wajidi mengakui, tidak banyak buku mengupas sejarah Tionghoa, apalagi tentang Tionghoa Banjar, sehingga kiprah dan perannya juga kurang diketahui secara luas. Padahal, hubungan orang Banjar dengan Tionghoa sudah berlangsung beratus-ratus tahun. Berdasarkan catatan sejarah, awal abad 18, sudah banyak warga Tionghoa yang bermukim di Banjarmasin. Buku Tionghoa Banjar, setidaknya memulai untuk mengisahkan secara lebih lengkap, dan diharapkan akan ada buku-buku berikutnya, agar peran Tionghoa Banjar ketahui secara luas.
Apalagi perannya terhadap perjuangan kemerdekaan, sedikit sekali yang mengetahuinya. Padahal, banyak cerita bahwa warga Tionghoa juga turut berjuang. Ada sejumlah nama besar yang tidak mungkin dilupakan, antara lain Lie Kie Ming, yang dengan keahliannya dalam perbengkelan, telah melakukan perakitan senjata untuk kebutuhan para perjuang. Kang Ban Yen, yang perannya dalam perjuangan juga sangat penting. Dan puncaknya ada pada sosok Liem Koen Hian, tokoh media yang merintis berbagai surat kabar, menggagas partai Tionghoa Indonesia, dan menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tokoh lainnya yang juga sangat penting dan kurang banyak diulas dalam buku Tionghoa Banjar, adalah tokoh Kho Sek Beng. Bahkan begitu kuat dan besarnya peran tokoh ini , sampai membangun persaudaraan sedarah dengan Hasan Basry, dalam bentuk menyatukan darah mereka sebagai simbol persaudaraan yang tidak mungkin terpisahkan. Dan benar saja, ketika Kho Sek Beng dikriminalisasi, Hasan Basri melakukan pembelaan dan akhirnya bisa dibebaskan.
Sugiharto Hendrata, mengumpulkan data tentang siapa saja warga Tionghoa yang terlibat dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, dan atas perjuangan tersebut akhirnya memperoleh surat tanda jasa pahwalan dari Presiden atau Panglima. Temuan Sugi, setidaknya sudah terkumpul 43 orang warga Tionghoa yang terdata memperolah gelar pahlawan, karena peran dan kiprahnya dalam perjuangan. Di luar dari apa yang sudah dihimpun, tentu masih banyak yang terlibat dalam perjuangan, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Salah satu kendala dalam upaya menghimpun data para pejuang Tionghoa ini adalah, banyak yang sudah mengubah namanya menjadi nama Indonesia, sehingga tidak teridentifikasi lagi sebagai warga Tionghoa.
Apakah mungkin buku sejarah ditulis ulang, kemudian memasukkan sejumlah nama besar warga Tionghoa untuk juga tercatat dalam tinta sejarah? Kata Mansyur melemparkan pertanyaan kepada semua peserta yang hadir.
Bukankah sekarang ini sedang ada upaya untuk menuliskan ulang sejarah, tujuannya agar pemahaman kita lebih lengkap dan komprehensif. Kalau demikian, kenapa tidak diusulkan sejumlah nama warga Tionghoa untuk juga ada dalam deretan nama-nama pejuang kemerdekaan? Misalnya Liem Koen Hian, salah satu nama yang tidak mungkin dilupakan, karena kiprah dan perannya yang sangat aktif dalam turut merumuskan dan membentuk bangsa dan negara Indonesia, kata Mansyur.
Mansyur bahkan mengusulkan, agar dibuat buku Tionghoa Banjar jilid 2, khusus mengisahkan tentang kepahlawanan warga Tionghoa Banjar dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Agar semua mengetahui, bahwa para pejuang dan pahlawan Banjar, bukan hanya dari kalangan pribumi, namun juga warga lainnya, termasuk warga Tionghoa Banjar.
Lebih 40 undangan yang sebagian besar anak muda, hadir dalam diskusi tersebut, mereka rela lesehan dan berdesakan demi mendengarkan berbagai cerita menyangkut kepahlawanan Tionghoa Banjar. Turut pula hadir para tokoh literasi, antara lain IBG Dharma Putra, Mohammad Effendy, Arif Rahman Hakim, Rafiqah, Ida Mahardi dan anak-anak muda dari komunitas Gemar Belajar serta mahasiswa ULM.
Bahkan turut hadir cucu dari salah satu yang turut berjuang, dan menyampaikan cerita kakeknya tentang perjuangan yang telah mereka lakukan. Sejumlah nama-nama pahlawan pribumi yang turut menyertai perjuangan kakeknya kala itu, menjadi cerita kenangan yang membanggakan di keluarga tersebut.
Sekalipun warga Tionghoa Banjar banyak yang turut berjuang, namun ketika tidak dikisahkan dari generasi ke generasi, tidak dituliskan dalam buku-buku sejarah atau pun dokumen-dokumen penting, maka peran dan perjuangannya mudah sekali dilupakan dan bahkan dianggap tidak ada. Apalagi berbagai kebijakan kemudian lahir mendiskriminasi, memarjinalkan dan meniadakan peran dan perjuangannya, semakin tenggelamlah fakta tentang peran dan kiprah warga Tionghoa Banjar dalam perjuangan.
Sejumlah pertanyaan dari peserta yang hadir, seolah memberikan gambaran bahwa sangat banyak informasi menyangkut Tionghoa Banjar yang kurang diketahui dan mesti disebarkan secara luas. Buku Tionghoa Banjar setidaknya sudah membantu membangun literasi, agar sejarah lebih obyektif dan memberikan informasi serta pengetahuan secara jujur kepada warga, bahwa sejak dulu orang Banjar dan warga Tionghoa, sudah bahu membahu dalam membangun banua Banjar, termasuk dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Penulis: Noorhalis Majid