ADA lagu-lagu yang tidak datang dengan gebrakan, tidak memaksa kita untuk langsung jatuh cinta, tapi pelan-pelan meresap. Lagu “Maria” dari band Si Madhava, unit rock alternatif asal Banjarmasin, adalah salah satu lagu semacam itu. Ia bukan seperti surat cinta, melainkan seperti potongan halaman dari buku harian yang tak pernah dikirim. Intim, pelan, dan penuh jeda.
Maria bukan tentang cinta biasa. Ia tentang keterikatan yang tumbuh diam-diam, tanpa komitmen yang terang, namun terlalu dalam untuk dianggap remeh. Lagu ini bercerita tentang cinta yang tidak pernah menjadi utuh, tapi tetap hidup dalam bayang-bayang. Si Madhava dalam karya ini seakan mengajak kita menikmati cinta dalam bentuk paling lirih dan paling pribadi.
Liriknya bukan cerita runtut. Tak ada alur linier yang mengisahkan awal ketemu hingga akhir patah hati. Yang ada adalah fragmen-fragmen perasaan yang tercerai tapi saling terhubung. Misalnya baris: “Jari jemari mulai mengeja / Menerka nerka sebuah tanda / Mengunci makna di satu pinta / Sembuhkan luka tak pernah ada”.
Ada upaya membaca tanda-tanda, mencari makna, bahkan menyembuhkan luka yang mungkin tak pernah dilukai. Lagu ini tidak bicara tentang siapa menyakiti siapa, tapi tentang rasa yang menggantung. Tentang cinta yang tidak diumumkan, tapi selalu dihadirkan diam-diam. Lalu datang pengulangan-pengulangan seperti mantra: “Dari dirimu, dari nafasmu, dari matamu, dari pikirmu.” Sebuah barisan repetisi yang bukan hanya memperkuat rasa, tapi juga menunjukkan intensitas obsesi yang tenang dan sunyi.
Secara musikal, lagu ini bukan tipikal rock alternatif yang menggelegar. Ia justru dimulai dengan aransemen gitar yang cukup lembut, atmosferik, seperti ruang kosong yang dibiarkan sengaja agar gema vokal bisa bernafas leluasa. Vokal masuk perlahan, tidak menggertak, malah seperti bisikan yang datang dari dalam kepala. Dinamikanya ditata cermat setelah bait pertama dan kedua yang penuh penahanan, lagu ini meledak secara emosional pada bagian chorus, lalu kembali meredup di bridge, dan naik lagi perlahan di akhir. Ini bukan struktur yang rumit, tapi berhasil menggambarkan pasang surut rasa dengan sangat manusiawi.
Produksi lagunya juga patut diapresiasi. Diproduseri oleh Ben Irwansyah dan Feriza Manuwu, dua nama yang tak asing di skena musik alternatif Kalimantan Selatan, Maria terasa rapi tapi tidak steril. Setiap elemen terasa cukup drum yang solid namun tidak mendominasi, gitar elektrik yang muncul di saat penting, dan backing vocal yang menebalkan kesan intim. Tidak ada satu pun bunyi yang terasa berlebihan. Semua seperti tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.
Namun bagian paling menyentuh dari lagu ini, justru datang pada penggalan bridge: “Biarlah semua rahasia / Menjadi tetap rahasia”. Kalimat ini seolah menjadi simpul dari seluruh lagu. Bahwa tidak semua rasa perlu dijelaskan. Bahwa ada cinta yang lebih nyaman tinggal dalam diam. Bahwa menyimpan bisa juga jadi bentuk mencintai.
Dalam lanskap musik Indonesia hari ini yang penuh dengan lagu-lagu tentang kehilangan, kepemilikan, dan perpisahan yang dramatis, Maria hadir seperti ruang teduh. Ia tidak memaksa kita untuk mengingat siapa yang membuat kita patah, tapi justru mengajak kita mengingat rasa yang pernah tumbuh dalam diam. Lagu ini menyentuh sisi sunyi dari perasaan, sisi yang jarang disuarakan karena mungkin terlalu dalam, atau terlalu pribadi.
Si Madhava mungkin berasal dari Banjarmasin, jauh dari pusat industri musik nasional. Tapi lagu ini membuktikan bahwa letak geografis tidak menghalangi kedalaman artistik. Mereka berhasil menciptakan karya yang jujur, matang, dan resonan. Dan melalui Maria mereka memberi kita satu pelajaran penting: bahwa cinta tidak harus dirayakan terlalu terang untuk bisa terasa begitu besar.
Saat tulisan ini saya tulis, hujan sedang turun dengan begitu romantis dengan cahaya matahari sore yang kuning menjingga. Caffe latte yang menemani saya semakin menguatkan saya untuk membuat sebuah pernyataan; Mungkin saja bagi kita semua, di suatu masa dalam hidup kita, pernah memiliki Maria kita sendiri. Yang mana Bahagia dan luka hanya berjarak sehelai rambut saja.
Penulis: Novyandi Saputra