Oleh: Ahmad Marjuni
“ORANG yang merantau bukan berarti melupakan asal, tapi sedang mengumpulkan bekal untuk pulang membangun daerah yang dicintainya.”
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), sebuah daerah di Kalimantan Selatan yang kaya akan tradisi dan nilai keislaman, hari ini tengah menghadapi tantangan pembangunan di berbagai sektor. Di tengah keterbatasan sumber daya manusia dan akses informasi, banyak pemuda daerah yang memutuskan merantau ke kota-kota besar demi mencari pendidikan, pekerjaan, atau pengalaman baru.
Namun, di balik kisah hijrah mereka, tersimpan potensi besar yang sering kali luput dari perhatian yaitu peran strategis pemuda perantau dalam membangun kampung halaman.
Merantau: Pilihan atau Keadaan?
Merantau bukan sekadar tradisi, tetapi juga sebuah kenyataan hidup. Banyak anak muda HSU yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran karena keterbatasan akses pendidikan tinggi, lapangan pekerjaan yang sempit, dan minimnya ruang aktualisasi. Di luar daerah, mereka menempuh kuliah, bergabung dalam organisasi, hingga bekerja di perusahaan, lembaga sosial, menjadi ASN, pengajar, dosen, penceramah, bahkan terjun ke dunia politik.
Di sana, mereka tidak hanya menimba ilmu ataupun bekerja, tetapi juga memperluas jaringan, belajar berpikir kritis, dan terlatih menyelesaikan masalah dalam skala yang lebih kompleks.
Pemuda Perantau: Aset Daerah yang Belum Dimaksimalkan
Pemuda perantau adalah jembatan antara kampung dan dunia luar. Mereka memiliki kemampuan membawa perubahan melalui:
- Transfer ilmu dan pengalaman yang bisa mereka bawa pulang ke desa atau wilayah terpencil di HSU.
- Modal sosial berupa jaringan relasi dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan pengusaha.
- Modal komunikasi, hasil dari keterlibatan di organisasi kampus dan komunitas.
- Pandangan kritis terhadap isu daerah, karena bisa melihat dari dalam dan luar sekaligus.
Sayangnya, hingga kini belum banyak ruang yang disediakan untuk menjembatani gagasan mereka dengan kebutuhan daerah. Tidak sedikit yang ingin berkontribusi, tapi merasa tidak didengar atau dianggap ‘kada tahu lapangan’.
Meneladani Mereka yang Sudah Melangkah
Kita bisa meneladani beberapa perantau dari HSU kini aktif menduduki posisi penting seperti Prof. Mujiburrahman sebagai Rektor UIN Antasari Banjarmasin. Terbaru, ada nama Prof. Noorhaidi Hasan yang turut mengambil peran penting menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga, serta masih banyak tokoh lain yang menjadi akademisi, politikus, peneliti, dan birokrat.
Gerakan seperti ini lahir dari semangat “Handak Bulik” meski secara fisik masih berada jauh. Pulang lewat gagasan, kontribusi digital, jejaring, bahkan membuka lapangan pekerjaan.
Saatnya Kolaborasi antara Pemerintah, Perantau, dan Masyarakat
Agar peran pemuda perantau bisa lebih optimal, diperlukan sinergi dari semua pihak.
Pemerintah daerah perlu menciptakan forum diaspora HSU yaitu ruang berkumpulnya para perantau untuk berbagi ide, peluang, dan kontribusi nyata.
Pemuda perantau harus aktif menyusun program sosial atau ekonomi, serta menjalin hubungan baik dengan pemangku kepentingan di daerah.
Masyarakat lokal juga diharapkan terbuka terhadap gagasan baru, dan tidak alergi pada kritik dari anak-anak daerah yang merantau.
Menutup Jarak, Memperpendek Rindu
Menjadi perantau memang tidak mudah. Selain berjuang untuk diri sendiri, kita juga menampung kerinduan akan kampung halaman. Tapi dari kejauhan, kita bisa tetap hadir: melalui tulisan, ide, program, bahkan investasi sosial. Sebab tanah kelahiran adalah tempat yang tidak hanya kita rindukan, tetapi juga kita perjuangkan.
Sudah wayahnya kah kita “bulik kampung”? bukan hanya secara fisik, tapi juga hadir lewat karya.
*
Penulis adalah Guru, Aktivis, Pemerhati Budaya, Perantau Asal Hulu Sungai Utara.