Oleh: Halim HD
JUDUL tulisan ini bisa dianggap mengada-ada. Juga bisa dianggap sebagai mimpi di siang hari bolong. Saya tak menolak jika ada orang yang menuding seperti itu. Tapi marilah kita mencoba melacak sejarah sosial di lingkungan kita melalui perspektif khasanah tradisi.
Pernahkah Anda masih mengingat tentang pasar-mingguan di perdesaan, di pinggiran kota, atau bahkan dulu terjadi juga di tengah-tengah kota di perkampungan? Masih ingatkah Anda nama-nama pasar itu yang berkaitan dengan nama hari, misalnya Pasar Senen, Pasar Kliwon, Pasar Legi, dan juga dengan nama-nama pasar yang berkaitan dengan locus pasar yang dekat dengan perdesaan dan perkampungan itu.
Pada periode yang lampau, pasar menjadi suatu peristiwa bukan hanya berkaitan dengan mekanisme ekonomi. Tapi lebih dari itu, juga menjadi peristiwa sosial. Di dalam peristiwa pasar pada masa lampau, informasi tentang khitanan, perkawinan, upacara syukur, bersih desa, ruwatan dan sebagai peristiwa lainnya disampaikan melalui ruang pasar. Bahkan gosip dan isu politik lokal ikut berhamburan di dalam ruang pasar yang sejak subuh sampai menjelang asyar.
Kenapa pasar pada masa lampau hanya sampai waktu asyar? Sebelum magrib mereka harus sampai rumah masing-masing. Di wilayah tengah kota, pasar pada masa lampau setelah asyar, selalu diisi oleh berbagai peristiwa kesenian. Ada pengamen kesenian tradisi, ada jenis kesenian sambil menjual obat.
Peristiwa kesenian terjadi. Itulah, jika di Jawa ada ungkapan, pasar kumandang. Kumandang bukan hanya karena keramaian ekonomi, tapi keramaian dalam peristiwa kesenian yang menyuarakan kegembiraan bersama antara pedagang dan warga yang ada disekitarnya. Ada kaitan kuat antara tingkat ekonomi yang baik dengan peristiwa seni di sekitarnya.
Dalam konteks ini kita sesungguhnya diajak kembali berpikir, bahwa peristiwa kesenian sangat kuat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah atau negeri. Jika kita melihat kota-kota di mancanegara yang memiliki gedung-gedung kesenian dan berbagai sarana kesenian dalam berbagai disiplin dan jenisnya, itulah bukti dari keberhasilan suatu negeri dalam perekonomian dan mewujudkan keberhasilan itu melalui peristiwa kesenian.
Di negeri kita, bisa kita lacak kaitan kuat pada masa lampau. Suatu kejayaan kerajaan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana dia berkuasa dan mengelola wilayah yang luas. Tapi juga mewujudkan dalam bentuk berbagai jenis kesenian, tari, musik, karya kriya dan arsitektur yang megah. Tentu saja dunia kulineri ikut menjadi bagian penting dalam mencitrakan suatu pemerintahan.
Jadi, jika kita sekarang bicara soal industri kreatif, dan berbagai perspektif kesenian dalam kajian sejarah modern, sesungguhnya sejarah masa lampau telah membuktikan dan memberikan inspirasi.
Melalui inspirasi itulah saya ingin melontarkan impian suatu festival, peristiwa seni yang bisa tercipta setiap minggu dan sepanjang tahun.
Saya membayangkan acara kesenian yang bisa disajikan di sekitar bantaran sungai yang menjadi ciri Banjarmasin. Gagasan ini berangkat ketika belum lama ini saya diundang oleh Hajriansyah untuk menyaksikan Banjarmasin Art Week (BAW) 2024. Pada peristiwa BAW itu banyak yang menarik yang berkaitan dengan tampil dan hadirnya kaum muda menyajikan karyanya, pameran lukisan, pentas musik, tari, monolog, teater, sastra-puisi, musik gambus, bahkan ada kelompok penyanyi anak-anak.
Menyaksikan berbagai mata acara dalam rangkaian BAW 2024 itu, bagi saya memberikan inspirasi dan pertanyaan: kenapa tidak diselenggarakan secara mingguan sepanjang tahun, dan menjadikan bantaran sungai itu sebagai ruang publik kebudayaan.
Lontaran gagasan ini sekaligus juga untuk menguji kebangkitan komunitas-komunitas kesenian dalam kaitannya dengan kesigapan mereka melalui suatu program yang berkala dan secara rutin bisa disaksikan oleh publik. Dalam kaitan gagasan ini juga untuk melibatkan warga sebagai batu uji di dalam menilai karya-karya kesenian di ruang publik. Batu uji itu terletak cara warga untuk mengapresiasi. Pada apresiasi inilah publik akan membuktikan pilihan: suatu jenis kesenian yang diminati pasti akan mengundang kedatangan publik secara antusias.
Pada sisi lainnya, ada jenis yang mungkin publik tak cukup meminati namun diminati secara khusus oleh sekelompok peminat. Jenis disiplin kesenian ini sangat kuat kaitannya dengan pilihan, misalnya musik gambus sangat mungkin memiliki minat yang kuat, juga jika ada acara penyanyi cilik yang secara rutin dihadirkan bisa mengundang berbagai keluarga, dan memancing keluarga lain untuk terlibat. Hal ini bisa makin menguatkan posisi ruang publik kebudayaan.
Pada acara yang lain, misalnya pembacaan puisi, cerpen, monolog, mungkin hanya punya apresian yang terbatas, namun bisa menciptakan peristiwa yang intens melalui diskusi dan dialog setelah acara berlangsung. Dengan kata lain, melalui dua contoh itu, kita bisa mengembangkan peristiwa seni dengan jalan menyusun program yang beragam.
Tentu saja masalah ini tidak bisa hanya dikelola oleh Dewan Kesenian Banjarmasin (DKB). Harus melibatkan Pemkot dan instansi terkait. Yang terpenting adalah bagaimana Banjarmasin bisa memilih proyek kebudayaan yang lebih sederhana namun teruji untuk mengembangkan tata kelola peristiwa kesenian, dan menguji kelanggengan komunitas kesenian dalam menciptakan tradisi baru di wilayah urban.
Pada sisi lainnya, sesungguhnya Pemkot bisa mewujudkan hal ini sebagai bukti bahwa kesenian sebagai medium kohesi sosial melalui rangkaian peristiwa kesenian setiap minggu sepanjang tahun, dan sekaligus sebagai rendezvous sosial yang bermuatan nilai kebersamaan. Dalam konteks itulah makna festival mingguan bisa diwujudkan. Sebab, arti festival itu sendiri sesungguhnya bukan setahun sekali, tapi fiesta, pesta kegembiraan bersama suatu masyarakat.
*
Penulis adalah Networker-Organizer Kebudayaan