Forum Ambin Demokrasi menyelenggarakan diskusi terkait implementasi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah, wajib menjamin terselenggaranya pendidikan dasar (SD dan SMP) tanpa memungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Diskusi bertajuk ‘Peluang dan Tantangan Pendidikan Dasar Gratis di Kota Banjarmasin’, diselenggarakan pada Jumat 18 Juli 2025, di Rumah Alam Sungai Andai. Menghadirkan: Ahmad Gafuri, Widyaprada BPMP Kalimantan Selatan; Ryan Utama, Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin; Tumiran, Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan; Iderus, Ketua Dewan Pendidikan Kota Banjarmasin. Turut hadir para tokoh dan pengamat pendidikan, antara lain IBG Dharma Putra, Abdul Haris Makkie, Mohammad Effendy, Udiansyah, Noorhalis Majid, dan para tokoh lainnya.

Ahmad Gafuri dari Widyaprada BPMP mengatakan, Keputusan MK tersebut terus dibicarakan dan susun formula pelaksanaannya. Kemungkinan akan diimplementasikan secara bertahap mulai tahun 2026. Berbagai kebijakan sedang disusun, termasuk koordinasi dengan pemerintah daerah dan lintas lembaga. Diakui bahwa tantangannya sangat berat, terutama terkait pembiayaan, sebab yang harus ditanggung bukan hanya biaya operasional untuk siswa, tetapi juga biaya penggajian guru dan tenaga penunjang pendidikan, termasuk biaya gedung atau bangunan, dan biaya lainnya.

Tumiran, selaku Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan, yang menyelenggarakan pendidikan swasta di bawah Perserikatan Muhammadiyah, menyambut gembira atas adanya Keputusan MK, namun merasa pesimis pemerintah mampu menjalankan keputusan tersebut. Dia justru khawatir, pendidikan dasar gratis tersebut akan menurunkan mutu dan kualitas pendidikan. Selama ini, karena ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu, orang tua siswa mau membayar mahal biaya pendidikan. Bahkan, dibayar semahal apapun, asal seiring dengan kualitas yang diberikan, orang tua mau membayar. Bahkan bayaran tersebut menjadi garansi bagi sekolah untuk memberikan yang terbaik kepada siswa.

Sekolah-sekolah yang sudah berbayar secara mahal tersebut, boleh dibilang sekolah premium. Apabila sekolah seperti ini digratiskan, justru khawatir akan menurunkan mutu dan kualitas pendidikan yang diberikan. Namun, sekolah seperti itu tidak banyak. Sebagian besar, sekolah swasta memang tidak mampu dalam soal pembiayaan. Bahkan banyak sekolah yang kondisinya sangat darurat, karena iuran SPP tidak mampu membayar gaji guru, guru terpaksa dibayar di bawah UMR, bahkan sangat kecil bila dibanding gaji pekerjaan lainnya. Terhadap sekolah seperti ini, penting perhatian pemerintah, agar bisa turut menyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis, kata Tumiran.

Iderus, Ketua Dewan Pendidikan Kota Banjarmasin, juga mengakui bahwa tantangan mengratiskan pendidikan dasar dsi kota Banjarmasin memang sangat berat. Jangankan hingga menanggung sekolah swasta, sekolah negeri saja masih banyak yang mengalami kekurangan. Terutama menyangkut distribusi guru yang tidak merata, berdampak pada kualitas dan mutu pendidikan. Termasuk sarana prasarana, terutama gedung sekolah. Di kota Banjarmasin, masih ada sekolah-sekolah yang kondisi gedungnya tidak layak dan pemerintah tidak cukup dana untuk memperbaikinya.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin, Ryan Utama, mengatakan bahwa pemerintah kota, khususnya Dinas Pendidikan, sudah mulai menghitung, berapa anggaran yang harus disediakan, apabila pendidikan dasar, termasuk yang diselenggarakan sekolah swasta, digratiskan. Pasti tidak mudah bagi kota Banjarmasin, karena biaya yang harus ditanggung sangat besar, sementara kemampuan keuangan masih terbatas. Sekarang ini sedang dilakukan singkronisasi data, termasuk dengan turun langsung ke sekolah-sekolah dan mengkoordinasikan dengan Kementrian Departemen Agama, diharapkan tersedia data yang benar-benar valid dan akurat, guna mempermudah dalam membuat kebijakan.

Para tokoh yang turut hadir, juga memberikan pendapat dan pemikirannya. IBG Dharma Putra mengatakan, sebaiknya dibuat klaster, mana sekolah dengan klasifikasi premium dan mana sekolah biasa, serta mana sekolah yang kondisinya gawat darurat. Sekolah yang premium, biarkan saja tetap berbayar, karena kelompok itu bukan yang disasar oleh Keputusan MK, sebab mereka tidak terkendala dalam soal biaya. Yang harus dipikirkan adalah sekolah biasa dan sekolah yang kondisinya gawat darurat. Sekolah seperti ini harus dibantu pembiayaannya, agar dapat menyelenggarakan pendidikan tanpa terkendala biaya.

Namun yang harus menjadi perhatian, kata Dharma, terkait mutu pendidikan. Soal mutu, ini bukan pilihan – bukan opsional, harus ada standar mutu yang menjamin pendidikan terselenggara secara berkualitas sesuai kebutuhan pendidikan dasar. Termasuk standar guru dalam mengajar. Mesti ada evaluasi secara berkala oleh dinas pendidikan, untuk memetakan kualitas guru dan bersamaan itu mendistribusikannya secara merata.

Kata “menjamin” dalam Keputusan MK, bukan berarti gratis seluruhnya, apalagi seluruh sekolah, kata Mohammad Effendy. “Menjamin” itu bermakna, semua anak usia wajib belajar, tidak terkendala dalam mendapatkan pendidikan. Terutama tidak terkendala dalam soal biaya pendidikan. Sehingga dengan demikian, tidak ada lagi anak yang tidak sekolah dengan alasan biaya. Semua anak, wajib mendapatkan pendidikan dasar, bila ada anak yang tidak bisa sekolah, maka berarti negara tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Gratis biaya pendidikan itu sendiri bisa dimaknai dalam beberapa level, antara lain: mungkin ada sekolah yang hanya SPPnya gratis; ada sekolah yang bukan hanya SPP gratis, tapi juga kelengkapan sekolah; ada juga yang gratis hingga pada sarana dan prasarana; ada yang gratis mencakup tenaga guru agar mampu mengajar secara profesional dengan diberikan pelatihan khusus; ada pula hingga memberikan beasiswa kepada para siswanya yang berprestasi, sehingga menambah semangat dalam belajar.

Effendy menyarankan, agar dinas pendidikan melakukan evaluasi setiap tahun, menetapkan ranking sekolah, membuat skoring IPM tentang seberapa besar kontribusi dinas pendidikan dalam penentuan IPM.

Noorhalis Majid juga menyarankan, agar angka putus sekolah bisa ditekan, kebijakan terkait pendidikan dasar 9 tahun, harus dibarengi dengan penggabungan jejang pendidikan SD dan SMP. Mestinya tidak perlu lagi ada kelulusan SD, tidak perlu lagi ada pendaftaran SMP atau Tsanawiyah, karena pendidikan dasar 9 tahun tersebut semestinya satu kesatuan hingga 9 tahun, baru setelah menjalani pendidikan 9 tahun, seorang siswa diberikan ijazah. Bukan ijazah SD dan SMP, tapi mestinya ijazah pendidikan 9 tahun, diberikan setelah menuntaskan selama 9 tahun. Bila ini dilakukan, maka terjadi penghematan biaya pendidikan, karena tidak ada lagi biaya perpisahan SD, biaya cetak ijazah SD, dan biaya pendaftaran ke SMP atau Tsanawiyah. Caranya cukup didata sesuai minat siswa.

Diskusi tersebut juga mendengarkan keluhan sekolah-sekolah berbasis Kristen, dimana pada sekolah Kristen juga terjadi klaster lembaga pendidikan. Ada sekolah yang tergolong premium dengan SPP sangat mahal namun sangat diminati. Sebaliknya, ada sekolah yang SPPnya murah, tapi justru kekurangan siswa.

Penulis: Noorhalis Majid

Author