Oleh: Noorhalis Majid
Refleksi tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya narasumber yang diminta adalah para tokoh agama atau tokoh nasional, kali ini yang diundang adalah anak-anak muda keren berprestasi yang berkiprah pada bidangnya masing-masing, dengan gaya dan bahasa sesuai usia mereka.
Anak muda yang menjadi narasumber tersebut antara lain Hudan Nur, Direktur BASA Kalimantan Wiki; Munir Sodikin, Ketua Sineas Banua; Novyandi Saputra, Artpreneur; dan Khairullah Zain, agamawan muda. Para tokoh agama dari berbagai majelis agama hadir mendengarkan sebagai peserta refleksi, duduk memenuhi aula Sastro Hardjo RRI Banjarmasin, Sabtu, 21 Desember 2024.
Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Ilham Masykuri Hamdie, menyampaikan bahwa mengundang anak muda sebagai narasumber dalam kegiatan refleksi ini bertujuan untuk mendengar dan meminta pandangan mereka tentang apa yang dipahami anak muda mengenai kerukunan, serta apa yang seharusnya dilakukan FKUB agar programnya menjangkau kelompok anak muda.
“Melalui BASA Kalimantan Wiki, kami mengenalkan kerukunan berdasarkan kosakata Banjar. Sekarang sudah lebih dari 10 ribu kosakata Banjar yang masuk dalam kamus digital, termasuk kosakata terkait toleransi, kerukunan, damai, dan lain sebagainya yang dalam bahasa Banjar mungkin berarti barakat-rakat, ruhui, taparukui, dan sebagainya,” kata Hudan Nur, menguraikan apa yang dilakukannya selama ini untuk mempromosikan toleransi beragama melalui bahasa Banjar.
Program “bakunjangan” yang mendatangi sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan sudah menjangkau lebih dari 2.000 siswa untuk terlibat secara aktif melestarikan kebudayaan Banjar. “Tentu hal ini sebuah upaya berbasis anak-anak muda. Bila mereka memahami budaya yang terbuka dan toleransi seperti halnya Banjar, maka kerukunan akan terjaga,” lanjut Hudan Nur.
Sementara itu, Munir Sodikin mengatakan bahwa anak muda di lingkarannya mempromosikan kerukunan dan toleransi melalui film atau sineas. “Memang satu tantangan yang tidak mudah, karena anak muda sekarang lebih peduli pada dirinya sendiri daripada isu-isu terkait toleransi yang dianggapnya sudah usang. Bahkan isu agama boleh jadi tidak menarik bagi anak muda, tapi bukan berarti mereka tidak beragama. Namun, isu tersebut bila dibungkus dengan agama, maka cenderung akan dijauhi.
“Hanya peduli pada diri sendiri dan akan tergerak bila ada hal-hal yang bersifat humanis yang bersentuhan dengan kepedulian serta jati dirinya. Bahasa, gaya, dan cara pergaulan yang jauh berbeda, sehingga mau tidak mau bila ingin mengenalkan toleransi kepada generasi muda, harus menggunakan gaya dan bahasa yang dipahami anak muda tersebut,” kata Munir.
“Saya terlibat dalam penggarapan dokumentasi Masjid Sabilal Muhtadin, foto-foto tahun ‘83. Saya temukan berbagai kegiatan yang memberi ruang pada seniman untuk tampil di masjid Sabilal Muhtadin: baca puisi di masjid, pertunjukan budaya di masjid. Kalau sekarang, saya tidak menemukan itu lagi, dan rasanya tidak mungkin itu terjadi sekarang. Foto tersebut seolah menggambarkan bahwa dulu sepertinya lebih terbuka daripada hari ini. Kenapa itu terjadi?” tanya Munir.
“Kalau FKUB tidak terbuka dan tidak melek terhadap hal-hal yang sekarang ‘menemani’ dunia anak muda, maka jangan kaget kalau berbagai hal yang sudah menjadi ‘agenda setting’ dari agen dan penyandang dana yang memiliki ideologi tertentu, termasuk ideologi yang bertentangan dengan agama, menjadi hal yang digemari dan bahkan menjadi budaya anak muda,” kata Munir.
“Saya mencoba mencari FKUB Kalimantan Selatan di TikTok, dan tidak ditemukan. Padahal media komunikasi anak muda sekarang yang terbanyak adalah TikTok. Maka FKUB harus juga bermain di media-media sosial yang sering diakses anak muda,” kata Novyandi Saputra.
“Saya tinggal di kampung, di Barikin. Kegiatan ‘menyanggar banua’ kerap mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama, termasuk dari para pejabat pemerintahan. Padahal dulu tidak demikian. Bukankah agama itu bagian dari produk kebudayaan? Kenapa agama justru memusuhi kebudayaan? Kenapa tidak terjadi dialektika atau dialog yang saling melengkapi agar kebudayaan semakin kaya? Maka berbagai hal sebagaimana tradisi menyanggar banua sangat mungkin mendapat penolakan bila tidak ada keterbukaan dan saling toleransi di antara para pemeluk agama,” lanjut Novyandi.
“Bahasa anak muda sudah jauh berbeda. Agar toleransi dan kerukunan dipahami mereka, haruslah menggunakan bahasa dan gaya yang mereka gunakan hari ini. Pandemi COVID-19 juga sudah mengubah pemahaman mereka soal ‘kuliah’ atau ‘sekolah’. Mereka memahaminya sebagai zoom, sehingga kehadiran fisik dalam perkuliahan dianggap tidak penting. Bagi anak muda, yang penting informasinya sampai dan bisa diakses dengan berbagai saluran media. Sekarang ini lebih mudah mengenalkan prinsip dan nilai agama melalui musik daripada melalui ceramah. Kalau diceramahi, mereka akan lari. Tapi kalau melalui musik, mereka akan rela duduk khusyuk berjam-jam, dan itu yang hari ini dilakukan oleh seorang penyanyi, Panji Sakti,” kata Novyandi.
Khairullah Zain, agamawan muda yang kerap diundang memberikan ceramah di kalangan anak muda, mengatakan bahwa ada tantangan dalam menegakkan ‘rukun’ sebagai pondasi menopang kehidupan bersama. Bahwa sekarang ini di kalangan anak muda, pertarungannya bukan lagi antaragama, melainkan antara agama dengan tidak beragama. Bahkan di dunia ini sudah lebih banyak yang tidak percaya pada agama.
“Kelompok yang tidak percaya pada agama justru lebih progresif memengaruhi anak muda melalui budaya, musik, film, dan cara pergaulan. Sehingga harus ada upaya bersama dari agama-agama untuk merangkul kembali anak muda melalui sesuatu yang diminatinya,” kata Khairullah Zain.
Refleksi kemudian menyimpulkan beberapa hal yang layak menjadi pertimbangan bagi program FKUB Kalimantan Selatan di tahun 2025, antara lain: hendaknya mulai menyasar kelompok anak muda dengan melibatkan anak-anak muda kreatif agar pesan yang ingin disampaikan FKUB dalam rangka mewujudkan toleransi dan kerukunan beragama bisa sampai dan diterima dengan mudah. Perlu kerja sama lebih intensif dari agama-agama, karena pertarungan dan pergesekan ke depan bukan lagi antaragama, melainkan agama dan budaya yang menolak agama. FKUB mulai menelusuri apa yang menyebabkan cara beragama semakin ‘mengeras’ sehingga hal-hal yang dulu sarat dialektika sekarang kerap mendapat penolakan.
Refleksi yang terbuka dan mendengarkan suara anak-anak muda tersebut kemudian ditutup dengan lagu-lagu Banjar yang didendangkan oleh Muhammad Hadjir.