INTERAKSI.CO, Banjarmasin –Â Panglima Wangkang adalah salah satu pejuang rakyat Dayak Bakumpai yang namanya harum dalam sejarah perlawanan terhadap penjajah Belanda di Kalimantan Selatan.
Ia lahir sekitar tahun 1812 di Bakumpai, Marabahan. Ayahnya bernama Demang Kendet, seorang pejuang asal Bakumpai, sementara ibunya Ulan berasal dari Padang Basar, Amuntai.
Sejak remaja, Panglima Wangkang sudah menaruh kebencian terhadap penjajahan. Tekadnya semakin kuat setelah ayahnya dihukum gantung oleh Belanda pada 1825, ketika ia baru berusia 13 tahun. Sejak itu, ia berjanji melanjutkan perjuangan sang ayah demi membela hak-hak masyarakat Bakumpai.
Baca juga: Gereja Katedral Keluarga Kudus Banjarmasin Ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Kota
Awal Perlawanan
Pada 1850, Panglima Wangkang mulai memimpin 30 pasukan untuk menyerang benteng Belanda di Banjarmasin.
Meski serangan pertamanya gagal karena keterbatasan senjata dan jumlah pasukan, ia tidak menyerah. Ia membangun markas pertahanan di Ujung Panti, lalu berpindah ke Belandean.
Setelah beberapa kali gagal, barulah sekitar 1860 pasukan Panglima Wangkang berhasil menembus benteng Belanda. Puluhan tentara kolonial tewas, dan pasukannya merampas senjata untuk memperkuat persenjataan. Serangan itu dikenal sebagai momentum kebangkitan perlawanan rakyat Bakumpai.
Belanda tidak tinggal diam. Tahun 1860 mereka menyerang balik markas Belandean. Panglima Wangkang dan pasukannya menyelamatkan diri ke hutan lalu membangun benteng baru di Sungai Badandan, tepatnya di Saka Durahman. Benteng kayu mahang itu kemudian terkenal dengan nama Benteng Mahang.
Namun, pada 1872 Belanda mendatangkan pasukan baru dari Batavia untuk menghancurkan Benteng Mahang. Pertempuran berlangsung hampir sehari penuh.
Dalam pertempuran itu, Panglima Wangkang gugur setelah terkena tembakan peluru emas yang menembus di antara kedua alisnya. Masyarakat percaya bahwa hanya peluru emas yang bisa menembus kekebalan tubuhnya.
Mayat Panglima Wangkang segera disembunyikan oleh pengikut setianya, Panglima Odi, agar tidak ditemukan Belanda. Penjajah kala itu menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa menangkapnya, hidup atau mati.
Masyarakat kemudian menemukan jasad seorang pejuang yang tak dikenal di sekitar lokasi pertempuran. Jenazah itu dimakamkan dan diberi nama Syahidun.

Menurut warga, tiga malam berturut-turut makam tersebut memancarkan cahaya dan aroma harum, sehingga hingga kini dikenal sebagai Makam Keramat Syahidun.
Sementara jenazah asli Panglima Wangkang dimakamkan secara diam-diam di Marabahan, tepatnya di Kampung Bentok Tengah, belakang rumah kediamannya yang kini beralamat di Jalan Panglima Wangkang, Kelurahan Marabahan Kota.
Ia dimakamkan pada malam Jumat tahun 1872 sesuai wasiatnya: tidak dimandikan, karena setiap berangkat berperang ia sudah berwudhu, dan ia rela gugur melawan Belanda.
Panglima Wangkang bukan hanya dikenang sebagai panglima perang, tetapi juga sebagai simbol keberanian rakyat Bakumpai.
Kisah hidupnya menjadi bagian dari sejarah panjang perlawanan masyarakat Kalimantan Selatan terhadap penjajahan.
Hingga kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan dan dikenang dalam cerita rakyat setempat sebagai sosok pejuang yang rela berkorban demi tanah air.