Beberapa minggu lalu saya diberi link DSP musik yang langsung menuju pada sebuah lagu dari band rock bernama Muram asal Banjarmasin. Lagu itu berjudul Parade Hujan sebuah komposisi lagu yang tidak mengandalkan keindahan, tetapi ketegangan. Sejak detik pertama, lagu ini menolak bersikap ramah bagi saya yang terlalu folk dan tradisional ini. Musiknya tak ragu membentur ruang dengar dengan distorsi, dentuman drum, dan riff gitar yang padat. Tapi ini bukan sekadar pamer energi. Di balik ledakan suara itu, Parade Hujan memanggil sesuatu yang lebih dalam: kegelisahan tentang bumi, manusia, dan akhir yang semakin dekat.

Tekstur soniknya padat, seperti ruang sempit yang dipenuhi kabut pekat dan kilatan cahaya tak terduga. Gitar dimainkan bukan untuk membentuk melodi yang cantik, melainkan untuk menciptakan dinding bunyi “wall of sound” yang menggugah ketidaknyamanan secara estetis. Permainan efek, delay, dan overdrive tidak hadir untuk mempercantik, melainkan untuk memperkeras intensitas dan kekacauan terukur. Vokal parau meluncur dari celah antara riff dan ledakan, bukan sebagai nyanyian, tapi sebagai pekikan yang menggandakan tekanan: seperti suara sirene, peringatan, atau mungkin ramalan yang terlambat.

Secara musikal, Muram tidak bermain dalam wilayah harmoni dan melodi yang manis. Mereka membangun arsitektur suara dari disonansi, dari lapisan noise yang dikurasi ketat. Ada kontrol dalam kekacauan, ada ritme dalam kebisingan. Parade Hujan tidak tumbuh seperti lagu yang mendaki menuju klimaks, melainkan seperti runtuhan yang dirancang: struktur yang sengaja diledakkan perlahan dari dalam, agar serpihannya menyebar ke segala penjuru rasa. Ketegangan ditahan dan dilepaskan dalam proporsi yang nyaris sinematik membuatnya terasa seperti soundtrack dari kota yang dilanda badai, atau mungkin dunia yang kelelahan menanggung kesalahan manusianya sendiri.

Lanskap suara yang dibangun oleh Muram dalam lagu ini tidak memberi jeda untuk bernapas. Ia tidak mengundang pendengar untuk bersandar, tetapi untuk berjaga. Setiap elemen komposisi ritme, timbre, dinamika disusun sebagai arsitektur bunyi yang terus-menerus mengguncang. Bahkan ketika lagu menurunkan intensitas, ia tidak memberi ruang nyaman, melainkan menciptakan ketegangan baru, semacam diam yang penuh ancaman. Inilah jenis musik yang tidak diciptakan untuk menemani, tetapi untuk mengganggu; bukan untuk mengalun di latar, tetapi untuk meledak di depan. bagi saya Parade Hujan adalah lanskap bunyi yang retak, dan dari retakan-retakan itu mengalir sesuatu yang lebih dari sekadar suara: atmosfer, kegelisahan, dan energi yang mengguncang kesadaran

Liriknya lugas, seperti dokumentasi bencana yang ditulis oleh orang yang telah mengalaminya: “Musim sudah berubah / manusia tak bisa lagi membaca / Pancaroba seperti neraka / siap memusnahkan umat manusia”.   Tak ada metafora berlapis, kalimatnya langsung, hampir brutal. Tapi justru dari kebrutalan itulah muncul efek kejut. Kita tidak diberi ruang untuk bersembunyi di balik tafsir puitik. Muram ingin kita melihat dunia sebagaimana adanya: porak-poranda, penuh jejak kerakusan. Suara vokalis Richy Petroza mempertegas atmosfer itu. Suaranya bukan sekadar nyanyian ia adalah raungan, desah keras, mantra yang patah-patah, namun penuh pengabdian.

Richy tidak menyanyikan lagu; ia seperti menjadi medium dari sesuatu yang lebih besar, lebih tua, dan lebih murka dari kita semua. “Mantra sakral kurapalkan / menuju ke langit Selamatkan kepunahan / parade hujan”. Dalam bait ini hujan menjelma paradoks, ia tidak lagi sekadar pertanda duka, tetapi harapan terakhir. Sebuah parade akhir zaman, bukan dengan pesta, tetapi dengan upacara penghormatan pada kemungkinan terakhir untuk berubah. Secara produksi, Parade Hujan ditata dengan presisi seperti tidak ada ruang kosong yang mubazir. Setiap bunyi terasa ditempatkan secara sadar. Bass mengikat tubuh lagu seperti akar, drum menggiring amarahnya, dan gitar menjadi semburan magma yang membakar atmosfer. Ketika jeda muncul kita justru tidak merasa lega, tetapi semakin tegang. Muram paham benar bagaimana bermain dengan tekstur dan tekanan. Mereka tidak hanya menggempur; mereka merancang runtuhnya perasaan.

Namun kekuatan terbesar Parade Hujan tidak semata terletak pada amarah atau intensitas volumenya. Justru di balik dentuman dan ledakan bunyinya, lagu ini menyimpan semacam kesadaran sonik; kesadaran bahwa suara bukan hanya instrumen ekspresi, tapi bisa menjadi peringatan. Bahwa bunyi tidak hanya menciptakan suasana, tapi mampu membelah kenyataan dan menunjukkan luka yang selama ini disembunyikan. Ini bukan lagu untuk dinyanyikan bersama di kafe, bukan pengisi festival musik yang hingar dengan gerak liar pedengarnya, atau sekadar pemanis perjalanan dalam mobil. Parade Hujan bukan penghibur; ia adalah semacam sirine kegelisahan yang menggema dalam kepala, bahkan setelah lagunya selesai. Ini adalah lagu yang menuntut perenungan dalam diam dan gelap yang hadir tanpa kompromi. Tidak menawarkan kenyamanan, tidak memohon untuk disukai. Parade Hujan berusaha berdiri sendiri penuh keyakinan, seperti lanskap sonik dari zaman yang retak dan menggeliat. Seperti reruntuhan yang menolak dibersihkan, ia mengingatkan bahwa dunia sedang patah, dan kita tidak bisa terus menari di atas puing-puingnya.

Parade Hujan juga menyimpan satu pertanyaan penting: di mana Kalimantan dalam semua ini? Secara musikal dan liris, lagu ini sangat kuat solid secara produksi, padat secara estetika, dan tegas dalam sikap. Namun justru karena kekuatannya yang begitu global dari nuansa sonik hingga diksi lirik yang nyaris universal kita merasa semacam jarak dengan akar tempat band ini berpijak: tanah Kalimantan itu sendiri. Parade Hujan menyuarakan keresahan ekologi, tapi tak memberi cukup isyarat pada lanskap lokal di mana Muram dilahirkan hutan yang terbelah, sungai yang sekarat, kabut asap yang datang tiap tahun. Ini bukan sebuah kekurangan, tapi lebih sebagai undangan. Bahwa ke depan, kita tak hanya butuh bunyi yang mengguncang dunia, tapi juga mampu menunjukkan dari mana guncangan itu berasal. Bagaimana suara dari Banjarmasin bisa menjadi gema bagi dunia? Bagaimana tanah yang diinjak bisa masuk ke dalam tekstur bunyi, ke dalam diksi, ke dalam cara meracik kemarahan? Sebab jika lokal bisa berbicara dengan keyakinan dan kejujuran, ia tidak hanya akan didengar, tetapi juga dipercaya oleh dunia. Dan mungkin di sinilah medan berikutnya bagi Muram: bukan sekadar menjadi keras dan benar, tapi juga menjadi akurat secara konteks, secara tempat, dan secara napas.

Ekomusik; antara topik lirik dan posisi etik

Ada satu hal yang tertangkap dalam pikiran saya; bahwa di tengah geliat ekomusik hari ini di mana isu-isu ekologis menjadi sebuah tren untuk diangkat sebagai narasi utama dalam karya musik. Beberapa masih banyak yang terjebak menjadikan alam semata sebagai ornamen estetika semata. Lagu-lagu bertema lingkungan kerap terdengar manis, penuh harapan, namun tak jarang hanya berhenti pada lirik-lirik indah yang kehilangan relevansi ketika dibenturkan dengan realitas dan perilaku penciptanya. Di sinilah Muram mengambil posisi yang berbeda. Mereka menolak menjadikan hujan, hutan, atau krisis iklim sebagai sekadar elemen simbolik. Pada Parade Hujan alam tidak dimitoskan atau didramatisasi berlebihan. Alam digambarkan dengan muram, rusak, dan penuh luka. Ini bukan puisi alam, tetapi peta bencana yang dilantunkan lewat distorsi dan amarah.

Ketika seorang musisi menyanyikan tentang alam, tentang kerusakan, tentang “akhir dunia tanpa dahaga” ia sedang memikul makna yang lebih besar dari sekadar estetika. Sebab lagu yang menyuarakan ekologi, seharusnya juga mengundang perilaku yang senapas. Seperti sumur yang jernih, bukan hanya karena airnya, tetapi juga karena tidak dicemari oleh yang menggalinya. Membicarakan alam bukan tren, bukan kostum panggung. Ia adalah cermin, yang saat dibersihkan akan memperlihatkan wajah kita sendiri. Maka biarlah  Parade Hujan tidak hanya menjadi seruan, tapi juga pengingat: bahwa kehancuran tidak bisa dihentikan oleh lagu, tapi lagu bisa menyalakan keberanian untuk berubah.

Lebih dari itu, kesadaran bahwa membicarakan ekologi dalam musik tidak cukup hanya berhenti pada estetika bunyi. Lagu yang menyuarakan kehancuran harus ditopang oleh kesadaran dan aksi nyata. Maka, penting dicatat bahwa ketika kita berani menjadikan isu lingkungan sebagai topik lirik tentu kita juga  harus siap untuk menjaga posisi etik. Sehingga narasi ekomusik yang mereka bangun menjadi utuh: suara dan sikap saling menegaskan. Jika Parade Hujan adalah doa, maka ia bukan doa yang lembut meminta belas kasihan, melainkan doa yang menuntut: kesadaran, tanggung jawab, dan perubahan nyata baik dari pendengar, maupun dari mereka sendiri yang menyuarakannya.

Sebagai catatan penutup yang penting bagi saya pribadi dan kita semua; kondisi kita hari ini pada lanskap musik lokal yang sering terjebak pada zona nyaman, kenyataanya Muram mengambil jalan berbahaya. Mereka tidak ingin membuat kita nyaman. Mereka ingin membuat kita berpikir, merasa, dan jika mungkin, takut pada apa yang sedang kita biarkan terjadi. Namun di tengah suara-suara yang mulai menyerukan kepedulian pada bumi, penting untuk mengingat: jangan sampai nyanyian tentang hujan hanya menjadi dongeng manis di tengah taman plastik. Sebab tanah tidak tumbuh dari lirik semata, dan hutan tidak kembali dari distorsi gitar. maka sikap dan gerakan nyata menjadi lebih penting dari sekedar teks pada lagu Parade Hujan: mantra sakral kurapalkan / menuju ke langit / selamatkan kepunahan / parade hujan”.

Penulis: Novyandi Saputra
Seniman, Penulis, Milanisti

Author