INTERAKSI.CO, Jakarta – Terus bertambahnya korban keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) memicu desakan agar pemerintah menghentikannya sementara.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pelaksanaan MBG menimbulkan masalah serius.

“Program ini memang punya tujuan baik, tetapi sekarang justru memicu keracunan massal, tata kelola buruk, dan membebani APBN,” kata Head of Center Digital Economy and SMEs Indef, Izzudin Al Farras, dikutip dari Tempo, Senin, 22 September 2025.

Baca juga: DPR Setujui Anggaran Pertahanan 2026 Rp187,1 Triliun, TNI Siap Perkuat Kedaulatan

Indef mencatat lebih dari 5.360 kasus keracunan terjadi sejak Januari hingga September 2025.

Dari sisi anggaran, MBG menelan 29,51 persen anggaran pendidikan dan 10,12 persen anggaran kesehatan dalam RAPBN 2026. Indef menilai hal ini mencerminkan ketidakadilan fiskal di tengah defisit negara.

The Indonesian Institute (TII) juga menyoroti keracunan MBG di Garut, Gunungkidul, Banggai Kepulauan, Sumbawa, hingga Baubau. Peneliti TII, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menyebut kasus ini sebagai alarm keras.

“Satu kasus keracunan pun tidak boleh ditoleransi. Pemerintah harus menghentikan sementara MBG dan mengevaluasi total,” ujarnya.

Dalam kajian Policy Assessment 2025, TII merekomendasikan pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bagi penyedia pangan sekolah dan tim pengawas. Namun, dinas daerah belum mendapat pelatihan dan belum membentuk tim pengawas keamanan pangan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Jimmy Daniel Berlianto, menegaskan penghentian sementara perlu agar pemerintah bisa memperbaiki tata kelola. Ia menilai MBG rawan memperburuk masalah karena tidak punya payung hukum yang jelas dalam UU atau Perpres.

“Program berjalan lebih dari enam bulan tanpa regulasi, anggaran besar, tapi efektivitasnya belum terbukti,” kata Jimmy.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sedikitnya 5.360 anak keracunan akibat MBG hingga pertengahan September 2025. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut kasus ini sebagai bukti kegagalan sistemik.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengakui pihaknya rutin menerima laporan keracunan. Ia menduga keracunan di Banggai Kepulauan, yang menimpa 251 siswa, bersumber dari bahan baku yang baru berganti pemasok.

“Dugaan sementara dari bahan baku, tapi kami masih menunggu kajian lebih lanjut,” ujar Dadan.

Author