INTERAKSI.CO, Jakarta – Pameran tunggal bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” karya pelukis Yos Suprapto yang rencananya digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada Kamis (19/12/2024), mendadak batal. Peristiwa ini memicu kontroversi, terutama terkait dinamika antara seniman dan kurator dalam menafsirkan makna seni.

Yos mengungkapkan bahwa persiapan pameran ini sudah dimulai sejak tahun 2023, dengan jadwal yang terus mundur. Awalnya direncanakan Januari 2024, kemudian ditunda ke Agustus 2024, lalu ke Desember 2024. Puncaknya, pada hari pembukaan, terjadi insiden pemberedelan beberapa karyanya.

Kurator dan Permintaan Mendadak

Yos menyebutkan bahwa dua lukisan diminta diturunkan pada 17 Desember 2024, beberapa hari sebelum pembukaan, dengan alasan dianggap kurang mendukung tema. Situasi memanas ketika tiga lukisan lainnya diminta untuk dicabut hanya beberapa jam sebelum pameran resmi dibuka.

Ketiga karya tersebut menggambarkan relasi petani dengan kaum berkuasa: petani memberi makan orang kaya, petani memberi makan anjing, dan petani membawa sapi ke istana. Kurator menilai karya tersebut terlalu vulgar dan tidak pantas ditampilkan.

Yos merasa keputusan ini menunjukkan ironi terhadap tema pameran. “Ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kekuasaan. Lukisan saya mencerminkan realitas bagaimana rakyat menopang kekuasaan,” ujar Yos.

Makna di Balik Pemberedelan

Bagi Yos, peristiwa ini menegaskan makna karyanya bahwa kekuasaan sering kali menginjak hak-hak rakyat. “Apa yang terjadi ini sangat menggambarkan lukisan saya. Kekuasaan sering kali menggunakan otoritas untuk mendikte rakyat,” ungkapnya.

Kritik terhadap Proses Kuratorial

Yos mempertanyakan mengapa keputusan penting seperti ini diambil pada menit-menit terakhir. Ia menilai proses kuratorial yang dilakukan tidak transparan dan tidak menghormati kebebasan ekspresi seni.

Kejadian ini membuka diskusi lebih luas tentang batas antara kebebasan berkarya dan intervensi dalam dunia seni. Apakah seni yang menyinggung kekuasaan harus dibatasi, atau justru seni semacam ini diperlukan untuk menyuarakan realitas sosial?

Polemik ini menunjukkan bahwa seni tidak hanya soal estetika, tetapi juga ruang untuk mengartikulasikan isu-isu penting, bahkan ketika itu berhadapan dengan otoritas.

Author