INTERAKSI.CO, Batulicin – Sekarang mudah kita menemukan di luar sana bahkan di sekeliling kita yang membuat kita harus bilang “Bacot, lu!”, kira-kira adari hal-hal seperti inilah lagu ini dibuat.
Secara lirikal, “Pandirwara” bermakna harfiah dan sarkasm, secara harfiah dia hanya akan menjadi “guyonan ala tongkrongan”, secara filosofis dia akan menjadi semacam “pengingat” dampak dari sesuatu yang tidak konsisten, sesuatu yang memperdayai, sesuatu yang penuh dengan kebohongan. Hal ini, juga bagian dari respons kondisi sosial politik dan bermasyarakat hari ini.
Secara musikal, “Pandirwara” adalah cross-over genre lintas disiplin, tanpa keluar dari karakter awal mereka. Panting tetap memegang peranan penting, tapi kali ini menggunakan notasi nada yang lebih mudah diterima atau familiar.
Art work dikerjakan oleh Reggy Dyanta, ilustrator asal Banjarmasin, Kalsel. Menurut Reggy, lagu Pandir Wara ini memiliki makna yang lebih luas.

“Lagu ‘Pandir Wara’ menginspirasi visualisasi yang mengundang kita merenung: sampai sejauh mana kita berani bergerak, atau memilih tetap diam. Terinspirasi dari energi musik dari Primitive Monkey Noose, karya ini menjelmakan nilai dan kritik sosial terhadap beberapa masyarakat Banjar yang kerap terjebak dalam sikap pasif di tengah situasi yang membutuhkan pergerakan kolektif; yang enggan melangkah keluar dari zona nyaman.”
Dalam hal komposisi ilustrasi, Reggy menjelaskan “Di pusat komposisi, seekor Bekantan (Nasalis larvatus) berjubah berdiri memunggung di atas ranting. Sebagai primata endemik Kalimantan yang hidup berkoloni, kehadirannya membawa simbol keterikatan dengan komunitas.
Pandangannya yang mengarah ke belakang seakan memuat keraguan, atau mungkin kegelisahan seorang yang hendak memulai perjalanan panjang.
Latar belakang menampilkan hutan dengan siluet pepohonan, bulan purnama yang membesar di langit, dan langit berliuk menciptakan suasana surealis. Di satu sisi, hadir fragmen dramatis: bekantan dan ular besar saling bertatapan—sebuah konfrontasi yang tak terelakkan, simbol pertarungan antara diam dan perlawanan, antara pandirwara dan keputusan untuk bergerak, bertindak atau menyerah.
“Pandirwara” adalah ajakan untuk menengok kembali ke dalam diri, merenungi posisi kita: tetap bertahan bersama koloni yang pasif, atau berani melompat sendirian menuju pergerakan.”
Credit Title:
Produced by Primitive Monkey Noose
Music and lyric by Primitive Monkey Noose
Directed, Mixed and Mastered by Yudha Prawira at Arumika Studio, Batulicin, Kalsel





