Oleh Puja Mandela
Di sebuah rumah dengan cat dominan hijau, beratap sirap dengan plafon yang terbuat dari kayu, suara ceramah Kiai Zainuddin MZ terdengar lantang. Suara itu bersumber dari radio compo yang diletakkan di dalam rak televisi di ruang tengah rumah.
Rekaman ceramah Kiai Sejuta Umat itu diputar nyaris setiap hari melalui siaran radio yang mengudara di wilayah Banjarbaru dan Martapura. Si pemilik rumah sengaja memutar siaran ceramah dengan suara keras agar seluruh anggota keluarganya bisa mendengarkan nasihat-nasihat dari ulama yang wafat pada 2011 silam.
Rini Dwi Masmuda mencoba mengenang kembali perkenalannya dengan radio yang begitu sentimentil. Momen itu terjadi di rumahnya terdahulu, di kawasan Kelurahan Kemuning, Banjarbaru Selatan.
Meski daya ingatnya payah, tapi dia tak pernah lupa bagaimana ayahnya, Maskanari, punya peran penting dalam memperkenalkan radio hingga pada akhirnya media itu mengubah hidupnya, selamanya.
Sampai hari ini, Rini Dwi Masmuda dan radio adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Wanita kelahiran 22 Januari 1984 ini merasa radio mulai masuk ke dalam hidupnya pada tahun 1999. Ya, dia sudah melabuhkan cintanya pada radio selama 25 tahun. Kiai Zainuddin MZ pun menjadi salah satu idolanya.
Suatu hari, karena ingin mendengarkan radio sendiri, Rini mulai menabung. Dia menyisihkan uang sakunya untuk membeli gadget tersebut. Radio portable yang juga berfungsi sebagai pemutar kaset pita menjadi pilihannya. Walkman! Dia membeli Walkman itu di Pasar Martapura.
Salah satu momen yang masih bisa dia ingat adalah saat duduk di kelas tiga MAN 2 Martapura (sekarang MAN 4 Banjar). Rini mulai asyik bicara sendiri di depan cermin dan berlagak seperti penyiar sungguhan. Di era itu, mengirim atensi untuk dibacakan penyiar sedang populer. Rini tak ingin ketinggalan. Dia terus-terusan mengirimkan salam untuk teman-temannya di sekolah lewat Radio Suara Pemerintah Daerah (RSPD) Banjar. Sejak remaja, Rini adalah wanita yang ekstrovert.
Potensinya makin terbuka saat masuk kuliah di Fakultas Dakwah UIN Antasari (sekarang IAIN Antasari). Tidak kebetulan, fakultas itu baru mendirikan radio pada awal 2003. Dia pun masuk ke deretan penyiar pertama Rafada (Radio Fakultas Dakwah) yang mengudara di saluran AM kala itu. Fakultas itu pernah menggelar workshop untuk mahasiswa. Salah satu narasumbernya adalah penyiar dari Radio Abdi Persada. Rini adalah satu dari sekian peserta yang dianggap potensial.
Atas prestasinya di workshop itu, pada 2004 manajemen Radio Abdi Persada memanggilnya dan meminta Rini menjadi penyiar. Tapi sebelumnya Rini juga pernah menjadi penyiar di salah satu radio swasta di Kayu Tangi Banjarmasin. Meski hanya satu bulan, tapi itu cukup membuatnya terkesan.
Baca juga: Jalan Kita Masih Panjang
Baca juga: SJI Kalsel 2024 Ditutup: Rini Dwi Masmuda Raih Poin Tertinggi
Setelahnya Rini mulai punya tanggung jawab lebih besar. Dia dipercaya membawakan program oldies “Keroncong Persada”. Meski sempat menganggap program itu tak sesuai dengan usianya yang masih 20 tahun, tetapi dia tetap menjalankannya dengan gembira.
Di Radio Abdi Persada pula naluri jurnalisme-nya mulai tumbuh. Saat mendengar raungan sirine pemadam kebakaran yang lalu lalang di Banjarmasin, dia tertarik untuk turun ke lapangan, menyaksikan, memantau, dan melaporkan kejadian itu secara langsung melalui siaran radio. Rini pun mulai menikmati aktivitas barunya. Sampai hari ini menjadi penyiar dan reporter menjadi dua profesi yang tak pernah bisa dia lepaskan.
Baru-baru ini, ibu tiga anak itu dinobatkan sebagai peserta dengan nilai tertinggi pada Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang berlangsung di Banjarmasin pada 9 sampai 13 Juli 2024. Dia berhasil mengungguli seluruh wartawan lain di Kalimantan Selatan dengan nilai 95. Nyaris sempurna!
Kepada interaksi.co, Rini Dwi Masmuda bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab cukup banyak pertanyaan secara blak-blakan tentang banyak hal, dari Sekolah Jurnalisme Indonesia, radio, dan hal lain yang lebih personal.
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana rasanya meraih poin tertinggi di Sekolah Jurnalisme Indonesia?
Bangga!
Apa dampak sebelum dan setelah mengikuti SJI?
Ya, aku merasa ditantang lagi. Kan kita punya ilmu segini, punya pengetahuan segini, tapi setelah mendapat materi, jadi aku merasa tertantang lagi. Oh, ternyata masih ada yang lebih, ya. Ternyata kita masih cetek, ya. Terutama saat materi Bang Toto. Selama ini kita masih menjadi wartawan notulen. Sementara aku sebagai redaktur, kan, harus mengontrol anak-anak. Harus sesuai standar jurnalisme yang benar. Menjadi wartawan yang sebenarnya itu gimana sih? Di situ tantangannya.
Siapa narasumber yang paling berkesan selama SJI?
Semua berkesan.
Kalau materi?
Yang paling menarik materinya, ya, Bang Toto Fachrudin sama Bang Merdi Sofansyah dari TVOne.AI. Aku sangat menyimak sampai aku ketakutan sendiri.
Apa yang kamu takutkan?
Aku takut generasi setelah kita ini menerima banyak informasi bohong, sehingga muncul fitnah di mana-mana. Fitnah akan merajalela karena kecerdasan buatan.
Ini pertanyaan konyol saja. Siapa saingan terberatmu selama di SJI?
Puja Mandela. (Tertawa)
Bagaimana rasanya mengalahkan dia?
Aku tidak merasa mengalahkan dia. Karena, menurutku, nilai tinggi rendah di SJI tidak terlalu penting. Tapi bagaimana penerapan setelahnya. Aku malah takut aku tidak bisa melakukan itu dan dia bisa. (Tertawa lagi)
Sebelumnya kamu tahu tentang SJI?
Dulu pernah tahu, tapi tidak tahu dalamnya bagaimana. Dulu tidak pernah tertarik.
Apa benar kamu sempat menolak ikut SJI?
Benar. (Tertawa)
Baik. Selanjutnya, kenapa masih menjadi penyiar radio di era serba digital seperti saat ini?
Hobi. Passion saja. Sebenarnya aku tidak pernah mengejar materi. Suka aja menyalurkan kompetensi yang kumiliki.
Seberapa cinta dengan radio?
(Mikir lama). Nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Bagaimana caranya agar radio bisa terus hidup?
Sesuai dengan tugas akhirku di SJI. Radio harus bertransformasi ke platform digital. Banyak hal yang harus dilakukan. Kuncinya transformasi digital. Radio tidak hanya bisa didengar, tapi juga bisa dilihat.
Kalau suatu saat radio akan punah, kamu sudah siap kehilangan?
Radio tidak akan punah!
Ini mungkin lebih personal. Kenapa setiap nama anakmu, ada kata Rindu? Apa maknanya?
Rindu itu sebenarnya singkatan dari nama aku dan ayahnya anak-anak. (Tertawa)
Seberapa besar peran orang tuamu membentuk karaktermu hari ini?
Besar banget. Aku dekat dengan dua-duanya, Mama dan Abah. Aku ‘kan cewek, tapi kedua orang tuaku mendidik aku seperti laki-laki. Keras. Kelas 2 MTs, aku sudah disuruh ngekos. Apa-apa sendiri. Rumah yang disewa nggak ada sumber air, nggak ada apa-apa. Waktu orang mengambil air ke musala, aku nggak mau. Aku malah menggali sumur sendiri. Saat aku menggali sumur itu, orang tuaku datang, dan terkejut melihat ulahku. Aku juga anak rumahan banget. Nggak dibolehkan keluar rumah jika tidak penting. Sampai belajar kelompok pun harus di rumah. Akhirnya teman-teman memahami, aku nggak bisa diajak keluar.
Hal apa yang membuatmu terkesan dengan sosok ayah?
Saat aku mulai dewasa, aku mendengar abahku pernah menjawab pertanyaan orang yang bertanya kenapa aku tidak dimasukkan saja sebagai pegawai di tempat kerja abah.
Abah berkata, kalau mereka mau sukses, mereka bisa sukses dengan caranya sendiri.
Di situ aku mikir, berarti abah mengajarkanku agar bisa melakukan apapun sendiri. Kita bisa sukses tanpa merepotkan orang lain. Intinya, kita bisa sukses dengan kerja keras kita sendiri. Dengan kata lain, abah mengajarkanku untuk tidak bergantung dengan manusia.
Pernah rindu dengan Ayah?
Sering (sedih). Untuk mengenangnya, sejak ketiadaan beliau, aku mengganti nama udaraku menjadi Rini Maskanari. Ya, nama di belakang itu nama abahku. Sebagai penghormatanku untuk beliau. Dengan kata lain, aku berharap, abah akan terus mengiringi setiap langkahku menuju kesuksesan.
Dan pencapaian yang selama ini berhasil kuraih, semuanya kupersembahkan untuk kedua orang tuaku. Mama dan Abah. Terima kasih sudah melahirkan aku ke dunia.