INTERAKSI.CO, Jakarta – Sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina, Riva Siahaan sempat menarik perhatian publik karena membeli mobil mewah Lexus RX350 senilai Rp1,5 miliar.
Padahal, harta kekayaannya yang tercatat di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencapai Rp18,8 miliar. Namun, tampaknya kekayaan tersebut masih belum cukup untuk membendung gaya hidup mewahnya.
Berdasarkan LHKPN, Riva memiliki aset berupa tanah dan bangunan senilai Rp7,7 miliar, alat transportasi Rp2,9 miliar, harta bergerak lainnya Rp808 juta, surat berharga Rp1,5 miliar, serta kas dan setara kas Rp8,6 miliar.
Ia juga memiliki utang sebesar Rp2,6 miliar. Dalam catatan sebelumnya, Riva memiliki tiga mobil, yaitu Suzuki Katana 2004, Jeep Wrangler 2011, dan Toyota Vellfire 2018, serta tiga motor termasuk Harley Davidson Ultra Classic 2005.
Namun, dalam laporan terbaru, dua mobil pertamanya menghilang dari daftar, digantikan oleh Lexus RX350 2023.
Baca juga: Indonesia dan Apple Sepakati MoU Investasi
Awal Terbongkarnya Korupsi Pertamina
Kasus korupsi ini bermula dari keluhan masyarakat terkait buruknya kualitas Pertamax di beberapa daerah, seperti Papua dan Palembang.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai melakukan investigasi setelah banyak laporan menyebutkan bahwa bahan bakar tersebut tidak sesuai dengan standar yang diharapkan.
Juru Bicara Kejagung, Harli Sirega, mengungkapkan bahwa temuan di lapangan mengarah pada dugaan manipulasi tata kelola minyak mentah yang menyebabkan kenaikan harga BBM serta beban subsidi negara yang tidak semestinya.
Dari hasil penyelidikan, ditemukan adanya praktik sindikasi oleh sejumlah tersangka yang berujung pada kerugian negara dalam jumlah besar.
Peran Riva Siahaan dalam Skandal Korupsi
Riva Siahaan bukanlah orang baru di Pertamina. Lulusan Universitas Trisakti dan Oklahoma City University ini telah meniti karier di perusahaan tersebut sejak 2008.
Ia pernah menduduki berbagai jabatan strategis, termasuk VP Crude and Gas Operation, Direktur Komersial di PT Pertamina International Shipping, hingga akhirnya menjadi Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga pada 2023.
Namun, bersama dengan sejumlah pejabat lainnya, Riva diduga terlibat dalam pengaturan harga minyak mentah yang tidak sesuai aturan.
Bukannya memprioritaskan produksi dalam negeri, mereka justru memilih impor dengan harga tinggi, yang diduga melibatkan persekongkolan dengan broker demi kepentingan pribadi.
Selain itu, ada indikasi mark-up kontrak pengiriman minyak yang menyebabkan negara harus menanggung biaya tambahan yang tidak seharusnya.
Pertamina Bantah Oplosan Pertamax-Pertalite
Seiring dengan terungkapnya skandal ini, muncul narasi liar di media sosial yang menyebutkan bahwa Pertamax dioplos dengan Pertalite.
Namun, Pertamina membantah tudingan tersebut. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa semua BBM yang dijual telah sesuai spesifikasi dan telah melalui pengujian oleh Lemigas.
“Produk yang sampai ke masyarakat telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Dirjen Migas. Tidak ada praktik oplosan seperti yang ramai dibicarakan,” jelasnya.
Tujuh Tersangka dan Modus Operandi
Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, termasuk:
- Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga)
- Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional)
- Agus Purwono (VP Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional)
- Yoki Firnandi (Dirut PT Pertamina International Shipping)
- Muhammad Keery Andrianto Riza (Beneficiary owner PT Navigator Khatulistiwa)
- Dimas Werhaspati (Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim)
- Gading Ramadan Joede (Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak)
Modus operandi yang mereka gunakan mencakup manipulasi harga minyak mentah, pengaturan tender, hingga kongkalikong dengan broker demi keuntungan pribadi.
Kejagung mengungkap bahwa keputusan impor minyak dengan harga tinggi dilakukan secara sistematis, tanpa mengikuti ketentuan yang berlaku.
Kasus ini semakin memperparah gejolak harga BBM di masyarakat. Pemerintah pun terpaksa menanggung subsidi yang lebih besar akibat praktik korupsi yang dilakukan oleh para tersangka.
Kini, Kejagung terus mendalami kasus ini untuk menelusuri pihak-pihak lain yang mungkin terlibat serta menghitung total kerugian negara akibat praktik haram tersebut.