Oleh: Halim HD

TAK SEDIKIT iklan dan informasi yang menjajakan perlunya suatu keluarga santai secara bersama. Juga tak sedikit ajakan itu berkaitan dengan bagaimana keluarga yang diidealkan dalam suatu ruang(an) dengan gambaran santai, ceria, bahkan nampak bahagia di antara sejumlah iklan barang-barang produksi. Keluarga menjadi icon bagi iklan untuk menjaring minat dan konsumen.

Mall sebagai bentuk dari ruang(an) publik dan ekonomi dalam konteks pendekatan posmo adalah salah satu wujud yang selalu diidentikan sebagai ruang(an) rekreasi dan ekonomi. Kemampuan politik ekonomi kontemporer dalam mewujudkan secara berdampingan antara ruang ekonomi dan ruang keluarga menjadi sesuatu yang sangat menarik. Ada dua hal dari wujud itu. Dalam sejarah sosial kita, pasar juga bukan hanya menciptakan mekanisme perekonomian tapi juga mekanisme sosial yang sangat akrab dengan lingkungan di mana pasar itu berada.

Dengan kata lain, jika kita menelisik dan melakukan pembenaran terhadap posisi dan wujud mall, maka sesungguhnya terjadi sejenis kesinambungan peristiwa sosial. Walaupun tentu saja antara pasar tradisisonal yang juga akrab dengan relasi keluarga dan lingkungan sosial dengan mall memiliki perbedaan yang substansial: suatu akumulasi kapital yang mengendalikan mall menciptakan mekanisme sosial dan ekonomi dan di balik itu terdapat “indoktrinasi sepihak” yang diselenggarakaan secara canggih.

Itulah perbedaan mendasar antara mall dengan pasar tradisional yang keseluruhan peristiwa dibentuk oleh ikatan sosial berdasarkan relasi personal yang sudah dikenal antara satu dengan lainnya. Dari hal itu juga pasar tradisional menjadi pusaran informasi antara warga dan antara tetangga dekat dan tetangga desa. Dalam dunia mall, informasi bukan datang dari warga, tapi by design oleh manajemen yang dikendalikan secara terpusat yang menentukan pilihan.

Kilasan ulasan di atas ingin mengajak kita semua untuk kembali memikirkan tentang bagaimana posisi dan fungsi ruang publik yang ada di sekitar kita. Jika kini begitu banyak keluarga berbondong-bondong mendatangi mall sebagai wilayah dan ruang(an) rekreasi, maka muncul pertanyaan: bisakah suatu kota menciptakan suatu ruang publik kebudayaan bagi kepentingan keluarga? Bisakah tata ruang perkotaan didisain untuk menciptakan suatu relasi kreatif antar-warga melalui kehadiran setiap keluarga dalam proses pendidikan informal melalui kegiatan kebudayaan? Dan kenapa pula begitu banyak keluarga justru menciptakan citra kepada anak-anaknya tentang budaya konsumerisme melalui ruang(an) mall?

Kilasan ulasan ini sekaligus juga ingin mengajak kepada Pemkot Banjarmasin khususnya tentang kebutuhan tata ruang publik kebudayaan dalam konteks relasi keluarga.

Keluarga sebagai basis kultural memiliki peranan penting seperti yang disampaikan oleh tokoh sejarah dan pemikir Pendidikan Ki Hajar Dewantara, bahwa keluarga merupakan cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kaitannya dengan pembentukan watak. Pembentukan watak di dalam keluarga membutuhkan ruang(an) lain yang ikut menunjang, yakni sekolah. Di antara dua ruang(an) itulah lingkungan sosial dengan dukungan ruang publik kebudayaan menjadi penting sebagai penyangga dan sarana bagi anak didik untuk mengenal makna kehidupan yang lebih luas.

Melalui ruang publik kebudayaan sang anak meluaskan dan memahami keberagaman nilai-nilai kultural dan sekaligus makna dari relasi sosial tentang yang lain. Sesungguhnyalah makna toleransi dan kohesi sosial diwujudkan di dalam ruang publik dalam proses interaksi antar-individu. Maka, betapa pentingnya suatu ruang publik di wilayah perkotaan dibentuk berdasarkan kebutuhan keluarga.

Mari kita bayangkan suatu ruang publik di sekitar bantaran sungai yang membelah Banjarmasin. Bantaran sungai yang menjadi ciri khas kota Banjarmasin bisa dijadikan sebagai ruang publik bagi pertemuan keluarga di antara berbagai acara kesenian yang bisa dinikmati. Melalui acara-acara kesenian yang bersifat interaktif anak-anak bisa menikmati dan belajar mengapresiasi. Proses apresiasi inilah sebagai proses pendidikan informal namun intensif dan menjadikan anak-anak berkembang dalam pemahaman tentang khasanah seni budaya.

Pada sisi lainnya, dengan pengembangan bantaran sungai sebagai ruang publik kebudayaan melalui berbagai penataan dan penyusunan acara seni budaya, mengajak anak-anak ke dalam proses penanaman suatu kerangka sejarah sosial tentang kota kelahirannya: suatu kota yang dibentuk oleh ekosistem aliran sungai sebagai sarana pembentukan kebudayaan dan peradaban yang pernah diciptakan oleh nenek moyangnya.

Dengan kata lain, menciptakan bantaran sungai sebagai ruang publik kebudayaan merupakan proses pendidikan kepada anak-anak dan sekaligus mengikis gaya hidup konsumerisme yang dijejalkan melalui mall dan ruang ekonomi yang bersifat komoditas. Semoga lontaran gagasan ini menjadi bagian dari penyusunan strategi kebudayaan kota Banjarmasin, agar tak hilang ditelan oleh berbagai bangunan yang menenggelamkan ruang publik.

Penulis adalah Networker-Organizer Kebudayaan

Author