INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Nilai tukar rupiah kembali melemah dan mencapai titik terendahnya sejak krisis ekonomi Asia 1998.
Pada Selasa (25/03), Bloomberg mencatat rupiah turun 0,5% menjadi Rp16.627 per dolar AS, semakin mendekati rekor terburuknya di Rp16.800 per dolar AS saat krisis.
Sejak awal tahun, rupiah telah kehilangan 3% nilainya, turun dari Rp16.132 ke Rp16.627 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh berbagai faktor global yang memicu ketidakpastian ekonomi.

Salah satu penyebab utama adalah ancaman kebijakan tarif impor dari mantan Presiden AS, Donald Trump, yang meningkatkan tekanan terhadap ekonomi negara berkembang.
“Ketidakpastian kebijakan perdagangan AS membuat pasar semakin waspada, terutama di negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada ekspor,” kata David Sumual, ekonom Bank Central Asia (BCA).
Baca juga: Danantara Umumkan Struktur Resmi, Gaet Tokoh Global sebagai Dewan Penasihat
Selain itu, potensi langkah agresif dari Federal Reserve dalam menaikkan suku bunga turut memperburuk sentimen pasar.
“The Fed berpotensi menaikkan suku bunga lebih tinggi dari perkiraan, yang membuat dolar semakin kuat dan menekan mata uang negara berkembang,” ujar Josua Pardede, ekonom Bank Permata.
Di dalam negeri, aksi jual besar-besaran oleh investor asing terhadap saham dan obligasi semakin menekan rupiah.
“Kami melihat adanya peralihan modal ke aset yang lebih aman, terutama di tengah volatilitas global yang meningkat,” jelas Lana Soelistianingsih, ekonom dari Universitas Indonesia.
Dengan kondisi ini, Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas rupiah dan menghindari dampak lebih besar terhadap perekonomian nasional.
“Diperlukan kebijakan moneter yang tepat untuk meredam volatilitas ini dan menjaga daya beli masyarakat,” tutup Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia.