Oleh: Sainul Hermawan
(Dosen Pascasarjana ULM)
ARUH Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) ke-21 di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kontras dengan ASKS sebelumnya di Banjarmasin. ASKS ini dipusatkan di pusat kesenian HST, tempat leluhur para seniman.
ASKS sebelumnya dipusatkan di dua lokasi: Menara Pandang dan hotel. Ada banyak cerita sedih pada ASKS itu. Ada banyak versi cerita dari dua pihak yang berkuasa atas acara itu. Pendek kata: ASKS di Banjarmasin juga tak jauh beda dari ASKS sebelumnya yang selalu dibumbui pertikaian kepentingan dan pamrih-pamrih sebagian pihak yang terlibat. Pamrih wajar saja bagi mereka yang berkeringat ikut menyiapkan ASKS. Apa masih ada gunanya mengingat luka-luka di ASKS Banjarmasin?
Tiba-tiba, ada pihak yang merasa paling peduli dengan ASKS menulis status yang nadanya “melecehkan” beberapa pihak yang terlibat pada ASKS tahun ini. Dia ingin mengesankan dirinya sebagai orang yang paling ikhlas dan tanpa pamrih datang ke ASKS. Sungguh terlalu.
Bagi saya, herbivora paling ikhlas yang terlibat pada ASKS tahun ini adalah satu ekor sapi yang akan menjadi hidangan setelah dipersiapkan bersama oleh warga dan peserta. Kata Mas Fuad, tradisi ini disebut mangawah: bergotong royong menyiapkan makan bersama.
Dia mengirimkan video sapi itu. Video itu mengaktifkan ingatan saya tentang dua puisi karya Taufiq Ismail. Sajak pertama tentang sapi sebagai komoditas modern dan sajak kedua tentang sapi sebagai sebagai bagian dari budaya tradisonal. Taufiq meletakkan imaji sapi dalam lokalitas yang kontras: sapi barat modern bagi pembaca dewasa versus sapi timur bagi pembaca anak-anak. Selain itu, video sapi itu juga membawa ingatan saya pada sajak tentang patung sapi oleh Dadang Ari Murtono yang dipakai untuk menggambarkan vandalisme manusia pada patung milik publik. Patung sapi itu dibayangkan sebagai sapi yang sedang tidur dan kelak bangun menjadi dewa suci. Status sinis untuk mereka yang tak bisa berhadir di ASKS kali ini mirip vandalisme terhadap patung sapi.
Baru kali ini ASKS menjadikan sapi sebagai imaji lokal yang penting. Ada berapa banyak puisi di Kalsel yang menggunakan sapi sebagai imaji? Imaji sapi pada ketiga puisi itu menyiratkan riset mini oleh para penulisnya. Riset di sini dipahami secara sederhana sebagai cara kita penasaran dengan berbagai hal yang kita jumpai sepanjang perjalanan.
Demikian pula kiranya proses kreatif imaji sapi dalam lirik-lirik lagu populer. Misal, lirik “Lagu Sapi” (The Cow Song) yang dinyanyikan oleh NerdOut pada 2016. Lagu ini mengimajikan sapi secara fabelistik, memohon kepada Steve agar berhenti memburu sapi karena dia punya keluarga. Lirik ini bercerita tentang lokalitas kaum vegetarian. Sementara dalam lirik lagu “Untuk Para Sapi” (“For All The Cows”) yang ditulis oleh Dave Grohl (Foo Fighters, 1995) sapi dipakai sebagai objek untuk bergumam tentang apa yang orang katakan tentang Grohl, apa yang dipikirkannya, dan apa yang akan dilakukannya terhadap semua omongan itu.
Contoh lainnya adalah lirik lagu “Ayam Coklat Sapi Coklat” (“Brown Chicken Brown Cow”). Lagu karya Trace Adkins (2011) tersebut sebenarnya adalah bagian akhir dari lelucon seksual — Kamus Urban daring menyebut “Brown Chicken Brown Cow” sebagai “tiruan onomatope dari riff gitar yang umum digunakan dalam film porno tahun 1970-an.” Meskipun liriknya bertema dewasa, Atkins tidak takut merilisnya sebagai single kedua dari album Cowboy’s Back In Town miliknya. Masih ada belasan contoh lirik lagu lain yang menggunakan sapi sebagai imaji.
Dalam lokalitas dangdut Jawa “Sapi Lanangan” dijadikan metafora lelaki mabuk yang suka nyeruduk pantat perempuan dan gampang tergiur dengan bibir merah. Apalagi pada lagu campur sari Jawa “Bokong Sapi” ciptaan Cak Dikin, bagian tubuh sapi dijadikan analogi tubuh perempuan.
Musisi Jazz Emerald mencipta lagu “Karapan Sapi” dengan memunculkan imaji bunyi-bunyi lokal Madura. Lagu anak “Gembala Sapi” pun dimainkan dengan musik jazz yang riang. Sapi dalam lagu anak berbeda dari sapi dalam lagu dewasa.
Sapi bukan hanya ada dalam puisi dan lagu tetapi juga dalam cerpen. Sekadar menyebut beberapa contoh, kita bisa membaca cerpen “Sepasang Lembu Ibu dan Wak Lam” karya Farizal Sikumbang (Kompas, 21 November 2021), “Sapi Betina” karya Juan Rulfo (Koran Tempo, 6 Oktober 2013), dan “Kartini dan Seekor Sapi” karya Nilla A. Asrudian Media Indonesia, 2019). Para guru dalam kebudayaan yang masih dekat dengan sapi bisa mengumpulkan sepuluh cerpen tentang sapi agar bisa dijadikan bacaan oleh peserta didiknya.
Sapi juga menjadi cerita dalam beberapa film di Indonesia. Misal, film Marsiti & Sapi-Sapi. Film ini tayang pada 30 November 2022 di JAFF dan layanan streaming Vision+. Film ini bercerita tentang seorang gadis berusia 15 tahun yang mengikuti karapan sapi setelah mengetahui ibunya akan menjual kedua sapinya. Film kartun tentang sapi buatan negara lain juga relatif banyak.
Jadi, kehadiran sapi di ASKS 21 adalah kehadiran imaji dunia tentang relasi manusia dan alam. Adakah yang lebih merasa penting daripada sapi-sapi ini yang sekali datang ke ASKS setelah itu mati, tanpa perlu diingat apalagi menganggap dirinya sebagai sapi yang paling menghargai ASKS?
Wabillahi Taufik wal Hidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh