INTERAKSI.CO, Washington – Sebuah laporan mengejutkan dari NBC News mengungkap bahwa sejumlah pejabat senior dalam pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump tengah menyusun rencana relokasi massal warga Palestina dari Jalur Gaza ke Libya.
Rencana ini memicu kontroversi luas, mengingat sensitivitas isu Palestina dan potensi dampaknya terhadap stabilitas kawasan serta hukum internasional.
Mengutip lima sumber terpercaya, laporan tersebut menyatakan bahwa rencana ini dapat mencakup pemindahan hingga satu juta orang dari total populasi sekitar 2,2 juta warga Gaza ke negara Afrika Utara tersebut.
Dua sumber mengungkapkan bahwa pembicaraan internal terkait rencana ini sudah mencapai tingkat diskusi langsung dengan pimpinan Libya.
Lebih jauh, tiga sumber lain mengatakan bahwa Amerika Serikat menawarkan pencairan miliaran dolar dana Libya yang dibekukan sebagai imbalan jika negara tersebut bersedia menerima gelombang pengungsi Palestina.
Pemerintah Israel dikabarkan mengikuti perkembangan rencana ini secara dekat, meski belum ada keputusan final yang dicapai.
Baca juga: Zelensky Tantang Putin Bertemu di Turkiye, Rusia Balas Serang Ukraina dengan 100 Lebih Drone
Trump: Jadikan Gaza Zona Kebebasan
Donald Trump sendiri menyampaikan gagasannya mengenai masa depan Gaza saat berbicara kepada wartawan di Qatar, sebelum melanjutkan perjalanan ke Uni Emirat Arab.
“Saya punya konsep untuk Gaza, jadikan itu zona kebebasan. Biarkan Amerika Serikat terlibat dan jadikan itu zona kebebasan,” ujar Trump.
Ia menambahkan bahwa konflik Gaza cenderung berulang setiap satu dekade dan belum pernah menemukan solusi tuntas. Oleh karena itu, menurutnya, ide keterlibatan langsung AS dapat menjadi alternatif baru.
Namun, seorang pejabat Gedung Putih membantah laporan tersebut dalam pernyataannya kepada kantor berita Anadolu, menyebut informasi itu tidak benar.
Sementara itu, mantan pejabat AS menyebut bahwa para perencana di pemerintahan sebelumnya juga mempertimbangkan insentif keuangan.
Termasuk tempat tinggal gratis dan tunjangan untuk mendorong warga Gaza agar bersedia pindah secara sukarela. Meski begitu, jumlah warga Palestina yang bersedia pindah masih belum pasti.
Rencana relokasi tersebut juga menghadapi tantangan besar secara logistik dan finansial, mengingat kondisi keamanan dan stabilitas Libya yang masih rentan.
Sejak tergulingnya penguasa lama Muammar Gaddafi pada 2011, Libya belum berhasil keluar dari konflik berkepanjangan.
Bahkan, bentrokan bersenjata kembali meletus di ibu kota Tripoli awal pekan ini, menyusul kematian Abdel Ghani al-Kikli—mantan kepala Aparat Dukungan Stabilitas.
Meski gencatan senjata berhasil dicapai setelah dua hari pertempuran, situasi keamanan Libya masih jauh dari ideal sebagai tempat relokasi massal.