Seorang blogger berkomentar di salah satu artikel yang menceritakan perseteruan antara Presiden Soekarno dengan pentolan The Beatles, siapa lagi kalau bukan John Winston Lennon yang liberal itu. Menurut si blogger, artikel tersebut benar-benar tak rasional, tidak ilmiah, dan tidak dilengkapi dalil-dalil yang akurat.
“Artikel macam apa ini? Nggak masuk akal,” begitu komentarnya.
Lho, memangnya semua hal yang ada di muka bumi ini harus masuk akal? Kalau begitu ya repot. Bagi saya, tak semua hal itu harus masuk akal. Termasuk perseteruan John Lennon dan Soekarno di artikel tersebut. Pada 1960-an saat Indonesia masih dipimpin sang proklamator, musik-musik produksi Barat memang dilarang masuk dan beredar di Indonesia.
Saat itu Soekarno memang melarang masyarakat Indonesia mendengarkan musik-musik Barat yang oleh presiden pertama Indonesia disebut sebagai musik “ngak-ngik-ngok”. Para pemuda yang meniru gaya rambut mop top dan pakaian ala The Fab Four pun langsung dirazia. Tak sampai di situ, pada 29 Juni 1965 personel Koes Bersaudara yang ketahuan menyanyikan “I Saw Her Standing There” langsung ditangkap aparat. Tak ada ampun!
Inilah yang kemudian menyebabkan musik rock n roll 60-an tidak sampai ke telinga masyarakat pelosok di nusantara. Memang di sejumlah daerah di Pulau Jawa seperti Bandung dan Jakarta, gaung The Beatles masih terdengar lumayan kencang. Akan tetapi jika digeser agak ke timur, kepopuleran Lennon Cs sama sekali tak terdengar. Buktinya, di Madura tak ada yang mengenal John Lennon. Di sana, Emha Ainun Nadjib dan Mahfud MD jelas lebih populer.
Coba kalau Anda sekali-sekali jalan-jalan ke Pulau Garam, tanyakan ke komunitas pedagang sate, apakah ia kenal band dari Liverpool bernama The Beatles? Ya, mereka pasti tidak kenal. Padahal, kata Ahmad Dhani, The Beatles adalah band paling populer sejagat raya, tetapi ternyata Dhani salah. Buktinya, orang Madura tidak kenal The Beatles. Anda juga jangan coba-coba menanyakan apakah mereka punya kartu tanda anggota fans club Beatlemania cabang Madura. Pasti jawabannya juga nggak ada.
“Kallooo kartu anggota Banseer, kami punya baaanyak, Paak,” kata bapak penjual sate yang biasa mangkal di perempatan.
Dari pengamatan saya selama lima tahun terakhir, selain tidak populer di Madura, The Fab Four juga tidak populer di Kalimantan Selatan. Hanya ada segelintir orang Banjar yang mengenal dan akrab dengan album-album klasik mereka. Orang yang akrab dengan lagu-lagu The Beatles adalah mereka yang dulunya pernah kuliah di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, atau orang-orang yang bergaul dengan penggemar lagu-lagu The Beatles.
Jika bicara jagat popularitas musik lokal, tak akan ada seniman musik Indonesia yang bisa menyaingi Rhoma Irama. Dari era jamban klasik sampai jamban modern, sang Satria Bergitar adalah sosok paling populer di mata masyarakat Borneo. Bahkan, popularitas dan elektabilitas sang legenda hidup Iwan Fals masih kalah dan belum mampu menyaingi Bang Haji.
Lagu-lagu Rhoma jauh lebih akrab di telinga orang-orang perdesaan yang kesehariannya bekerja sebagai petani atau pendulang emas. Tak usah heran, sebab lagu-lagu Bang Rhoma memang terinfluence langsung oleh Deep Purple, sementara Iwan Fals beraroma musik folk ala Bob Dylan yang populer pada 1960-an. Urang Banjar tentu lebih akrab dengan band hard rock asal Inggris itu daripada dengan legenda folk asal Amerika. Kalau Iwan Fals saja masih kalah populer dari Rhoma Irama, lantas bagaimana dengan The Beatles?
Masyarakat di Kalimantan Selatan tentu lebih akrab dengan lagu “Judi” dibandingkan “Yesterday” atau “Hey Jude”. Lagu “Buta Tuli” atau “Ghibah” tentu dianggap lebih menghentak dibandingkan lagu-lagu rock The Beatles seperti “Revolution”, “Helter Skelter”, atau “Come Together”.
Di sini dangdut memang sudah sangat mengakar. Warga Kalimantan Selatan tak akan begitu saja bisa melepaskan diri dari bayang-bayang dangdut. Bahkan, anggota ormas Oi Banjarmasin sebagai basis utama fans Iwan Fals di Kalimantan Selatan memelesetkan Oi menjadi Oma Irama.
Di acara-acara hajatan perkawinan juga begitu. Tak akan ada warga lokal yang bisa menanggalkan ”busana” dangdutnya. Tanpa dangdut, mereka seperti telanjang. Yang lebih khas lagi, volume sound pasti disetel sangat kencang tanpa mempedulikan tempat duduk tamu undangan yang berada sangat dekat dari posisi speaker.
Inilah yang membuat saya heran, sebab sebagian besar tamu undangan begitu betah duduk berlama-lama sambil menikmati alunan lagu-lagu dangdut yang volumenya digeber maksimal. Karena bosan, teman saya yang penggemar musik jazz pernah memprotes dan meminta kru sound system untuk mengurangi volume suara musiknya.
“Mas, tolong volumenya dikurangi. Kalau begini terus kepala saya bisa pusing. Huh, bener-bener nggak masuk akal,” protesnya.
Namun, apa lacur? Permintaan teman saya ditolak mentah-mentah. Mereka mengatakan suara musik yang disetel sangat kencang itu sudah melalui kajian khusus dan penelitian ilmiah. Masyarakat Kalimantan Selatan, kata dia, terbukti sangat menikmati lagu-lagu dangdut yang disetel keras sambil menunggu pasangan pengantin naik ke pelaminan.
“Ini sudah menjadi tradisi dan budaya masyarakat di sini. Dan yang perlu sampean ingat, tidak semua hal yang ada di dunia ini harus masuk akal,” begitu katanya.
Teman saya melongo. Lalu kami saling memandang. Sepertinya kami harus segera balik kanan sebelum sempat menikmati sepiring menu favorit saya, gangan waluh dan iwak karing masak asam yang disediakan di pesta pernikahan itu.
Penulis: Puja Mandela