Sudah lama saya menghindari istilah “musisi lokal”. Pertama, secara subjektif, dua kata ini nggak enak didengar. Kuping saya menolak. Mirip seperti kata “literasi” yang belakangan ini menjelma layaknya band pop alay.

Oleh: Puja Mandela

“Saya agak terganggu dengan istilah ‘musisi lokal’. Sudah nggak relevan,” kata Sumasno Hadi sembari menyalakan rokoknya di salah satu kafe Kota Banjarmasin, Selasa, 7 Oktober 2025.

Tadi malam, Sumasno datang sepuluh menit lebih cepat dari janjinya. Setelah berbasa-basi ngobrolin anu, diskusi kami mengarah pada terminologi “musisi lokal” yang masih banyak digunakan oleh sebagian media hari ini.

Sumasno Hadi adalah dosen seni musik di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Masno, sapaan akrabnya, baru saja menyelesaikan studi doktornya. Bersamaan dengan itu, ia merilis buku “Musik Populer Indonesia Dekade 1970-an”. Sebuah upaya pendokumentasian musik yang tentu tidak mudah, mengingat buruknya pengarsipan dokumentasi di negara yang penuh kekonyolan ini.

Baca juga: Turbulensi ULM: Mahasiswa Bergerak, Alumni Menuntut Integritas

Baca juga: Setelah 48 Tahun, Guruh Gipsy Tampil Live di Synchronize Fest 2025

Sembari mengisap rokoknya, Mas Dosen lantas menjelaskan istilah musisi lokal hanya relevan digunakan saat era rilisan fisik masih dominan, sekira 20 hingga 30 tahun lalu.

Pada masa itu, kata dia, musisi memang memiliki keterbatasan dalam hal distribusi musik yang hanya menjangkau wilayah geografis tertentu. Sementara di era digital, distribusi musik sudah otomatis tersebar luas, dan siapa pun bisa mengakses karya musik dari mana saja.

“Jadi kalau menulis, ya, langsung saja: A yang berasal dari kota X akan menjadi penampil dalam festival musik ABC. Istilah ‘band lokal’ tidak perlu dimunculkan,” ujarnya.

Saya setuju. Dan dalam banyak tulisan soal musik, sudah lama saya menghindari istilah “musisi lokal”. Pertama, secara subjektif, dua kata ini jika digabung nggak enak didengar. Kuping saya menolak. Mirip seperti kata “literasi” yang belakangan ini menjelma layaknya band pop alay.

Kedua, istilah ini berpotensi mempersempit ruang gerak para musisi. Bisa saja karena label musisi lokal yang terlanjur disematkan media justru menghalangi ekspansi musik ke skala yang lebih luas. Saya sendiri sudah lama tidak melabeli Primitive Monkey Noose, Mondblume, Muram, No Counter, atau Senja Djingga, sebagai musisi lokal.

Dalam event musik di Batulicin, di hadapan banyak musisi, saya juga sudah pernah menyampaikan hal ini. Sayangnya pernyataan saya tidak ditangkap dan tidak didiskusikan lebih lanjut di dalam forum. Mungkin karena kampanye literasinya masih kurang maksimal. Haha.

Setelah mendiskusikan banyak hal tentang sejarah musik dan buku terbarunya, kami lalu mendengarkan beberapa lagu di era 1970-an hingga 2000-an. Dan tentu saja mereka bukan musisi lokal Indonesia, Inggris, maupun Amerika.

Author