“ULM harus bersih dari para petualang gelar dan jabatan”.
(Zulfaisal Putera, budayawan, alumni ULM)
INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Sebuah pesawat kelas ekonomi melintas di cuaca buruk. Pesawat itu masuk ke awan komulonimbus, badannya terguncang hebat, penumpang panik, mesin mati satu. Lalu, untuk menenangkan situasi, pilot berkata, “Pesawat baik-baik saja.” Namun, tentu saja, seluruh penumpang tidak percaya.
Ini merupakan ilustrasi dari apa yang dialami oleh sebuah lembaga pendidikan penuh anomali yang namanya paling banyak disebut belakangan ini: Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Satu tahun berlalu. Skandal guru besar masih menjadi polemik di lingkungan ULM. Pada 27 September 2025, ULM dalam siaran pers yang dirilis di media sosialnya menyanggah isu pembatalan 16 dari 17 guru besar, berdasar pada alasan belum diterimanya surat keputusan (SK) pembatalan, kecuali atas nama Juhriansyah Dalle. Namun, pada 3 Oktober 2025, Alim Bachri, Rektor ULM, dalam siaran persnya akhirnya mengaku telah menerima surat keputusan pembatalan. Surat itu dia terima pada 29 September 2025.
“ULM menghargai dan menghormati sepenuhnya keputusan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia terhadap pembatalan kenaikan jabatan akademik/fungsioal sejumlah 17 dosen ULM,” ucapnya.
Keputusan ini diberikan ke publik tanpa banyak penjelasan, hanya berisi delapan poin rangkuman yang memuat penegasan dan harapan ke depannya. Ketika Interaksidotco mencoba langsung menghubungi Novaria, selaku juru bicara ULM, kami hanya diarahkan untuk menyalin informasi dari siaran pers di media sosial ULM.
Baca juga: Rektor ULM Diminta Mundur!
Bagi Alumni, Integritas ULM Menjadi Taruhan
Tidak bisa ditampik, beberapa pihak lantas terkejut dengan persoalan ini, terlebih alumni yang notabene memiliki kedekatan dengan ULM. Proses yang ditempuh universitas sebelum dan sesudah dicabutnya gelar kehormatan tersebut masih menjadi misteri. Zulfaisal Putera, budayawan yang juga alumni ULM, turut prihatin dengan terjadinya skandal yang mengganggu citra ULM.
“Ini bukan hanya soal jabatan guru besar. Dampak ke depannya guru besar selanjutnya akan diikuti dengan keraguan akan kualitas dan kebenaran prosesnya (mendapatkan gelar guru besar),” ungkapnya.
Sebagai solusi, Zulfaisal menuntut langkah tegas dari internal kampus. Dia ingin Rektor bersikap lebih tegas dengan membebaskan jabatan struktural yang melekat pada guru besar tersebut, termasuk posisinya sebagai Dekan dan menggantinya dengan figur baru yang lebih bermoral.
“Ganti dengan yang lebih bermoral. ULM harus bersih dari para petualang gelar dan jabatan,” tegasnya.
Zulfaisal juga menyerukan gerakan pembersihan reputasi kampus tanpa mengganggu kelembagaan ULM sebagai institusi. “ULM itu tidak perlu diganggu, yang harus dimusnahkan adalah tikusnya,” ujar salah seorang pengkritik.
Sebagai perwakilan mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ULM menegaskan kasus ini tidak bisa dipersempit hanya pada persoalan individu tertentu. Adi Jayadi, Ketua BEM ULM saat ini, menilai pencabutan gelar adalah puncak dari masalah sistemik dan lemahnya pengawasan internal kampus.
Baca juga: Rektor ULM Tak Realistis di Tengah Krisis
Lebih lanjut, ia menyoroti kurangnya transparansi pihak kampus. Dirinya mengaku selama ini akses komunikasi dengan pihak kampus masih terbuka, tapi informasi penting tidak pernah disampaikan secara utuh ke publik. Akhirnya, informasi yang tidak pasti mudah tersebar.
“Selama ini informasi hanya berhenti di kalangan petinggi kampus, padahal publik berhak tahu. Mahasiswa berhak tahu,” katanya.
Saat ini, ia menegaskan komitmen BEM ULM untuk terus mengawal proses advokasi. Baginya, apabila kampus mau berbenah, transparansi harus diutamakan.
“Dalam prosesnya, ULM harus melibatkan semua unsur dosen, mahasiswa, alumni. Ini tanggung jawab bersama,” sarannya.
Sejauh ini Rektor ULM juga tampak tak serius untuk memberikan sanksi kepada guru besar abal-abal tersebut. Dalam Peraturan Rektor ULM Nomor 5 Tahun 2023 tentang Kode Etik Dosen dan Mahasiswa, pelanggaran kode etik berat termasuk kecurangan karya ilmiah memiliki sanksi yang sangat jelas. Sanksi tersebut mencakup pencabutan gelar akademik, penurunan pangkat, hingga pemberhentian sebagai dosen secara tidak hormat.
Editor: Puja Mandela