Oleh Puja Mandela

Baliho-baliho mulai bertebaran. Dari yang menyempil malu-malu di ujung gang, di jalan-jalan perdesaan, sampai yang tampil gagah dengan ukuran raksasa di kawasan perkotaan. Pemandangan ini tentu biasa saja, terutama saat pemilu menjelang.

Orang awam sekalipun pasti paham bahwa mereka yang memajang foto wajahnya lewat media baliho memiliki motif politik. Apalagi jika baliho itu beredar hitungan bulan sebelum hari H pemilu. Namun, sejatinya pesannya tak hanya sampai di siitu.

Di dalam baliho-baliho itu juga mengandung pesan tersirat yang barangkali tidak mudah dibaca oleh banyak orang. Padahal, kita sebenarnya bisa membaca banyak hal dari situ. Misalnya, seberapa serius seseorang ikut serta dalam kontestasi politik, seberapa banyak modalnya, atau seberapa bagus seleranya dalam memandang seni visual.

Seperti yang bisa kita lihat hari ini. Ada saja politisi yang nekat mencetak baliho dengan  kualitas medioker; hasil foto pas-pasan, kalau tak mau disebut buruk, tulisannya typo dan berpotensi terkena razia Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, kayu penyangganya rapuh dan gampang roboh. Itu belum ditambah jargonnya yang mungkin copy paste dari Google. Tidak otentik.

Makin menyedihkan karena baliho-baliho semacam ini biasanya diletakkan di sembarang tempat yang justru menciptakan masalah baru bernama sampah visual. Desain tidak menarik ditambah penempatannya yang sembarangan. Klop! Benar-benar mengganggu pemandangan.

Memang bagi mereka yang punya budget pas-pasan kadang tidak punya pilihan lain. Yang penting fotonya mejeng di jalanan, dilihat banyak orang, dan masyarakat tahu bahwa dia akan menjadi salah satu peserta pemilu. Perkara sampah visual itu urusan belakangan.

Di sudut yang lain, ada baliho-baliho raksasa yang kerap mejeng di jalan perkotaan. Biasanya dipotret menggunakan kamera highend, sehingga kualitas gambar yang dihasilkan cerah dan tajam. Kecerahan, saturasi dan kontrasnya pas. Wajah yang ditakdirkan selalu murung bisa dikondisikan menjadi sosok riang. Tokoh politik yang tempramental dan hobi ngutang, misalnya, bisa diubah menjadi figur yang lembut dan penuh kasih sayang.

Baca juga: Kilas Balik: Kebakaran Hebat Melanda Pagatan tahun 1994 dan 2006

Baca juga: Cerita Banjir Besar yang Melanda Tanah Bumbu tahun 1948 dan 2006

Saya percaya kualitas baliho juga menunjukkan selera seseorang. Tentu tak hanya seniman saja yang harus memiliki selera seni yang bagus. Politisi pun begitu. Apalagi sebagai calon kepala daerah. Idealnya dia memiliki visi untuk membangun daerah dan membebaskan kota dari segala kesemrawutan, baik soal tata kelola pemerintahan, keuangan, lingkungan, dan penataan di wilayah perkotaan. Untuk mewujudkan hal itu, dia harus punya selera yang bagus dalam banyak hal.

Kalau pun si politisi memang tak mau jor-joran, membuat baliho-baliho sederhana juga tak jadi soal. Yang penting mereka tetap memperhatikan soal estetika dan tentu saja harus memiliki narasi yang kuat. Sebab itu akan menjadi nilai tambah bagi si politisi.

Ngomong-ngomong soal baliho, saya punya satu cerita.

Seorang kawan, politisi muda, saat pemilu legislatif kemarin, memajang banyak sekali baliho. Kualitasnya jempolan, narasinya cerdas, ideologis, dan sangat relevan dengan zaman. Namun sayang ratusan baliho mahal itu ternyata tak bisa diandalkan. Dia kalah. Sebab, ternyata sebesar apapun baliho tersebut, sebagus apapun kualitasnya, sebanyak apapun jumlahnya, ia bukanlah senjata yang memiliki kemampuan untuk mendongkrak suara secara signifikan.

Belakangan dia bercerita, ada satu hal yang tak dia lakukan. Dia hanya tak mau mengikuti cara politisi lain yang sudah terbukti ‘sukses’ meraup banyak suara.

Dengan cara apa?

Apa yang terlintas di kepala Anda saat membaca akhir tulisan ini, itulah jawabannya.

Penulis adalah Pemimpin redaksi interaksi.co

Author