INTERAKSI.CO, Batulicin – Awal Juni 2006, Kota Pagatan mendapat banjir kiriman yang dahsyat dari hulu. Ceritanya terus berbekas hingga kini, meski delapan belas tahun sudah berlalu.

Ribuan warga terdampak, aktivitas ekonomi terhambat, fasilitas umum, tempat ibadah, pasar dan sekolahan terendam. Di wilayah perkotaan, air merendam kurang lebih satu meter.

“Padahal, intensitas hujan waktu itu biasa saja. Tidak setinggi sekarang,” kata tokoh masyarakat Pagatan, Andi S Jaya, kepada interaksi.co, Selasa (11/6/2024).

Dampak paling besar akibat air bah ini adalah saat ruas jalan poros penghubung Batulicin dan Banjarmasin putus total. Akibatnya, kendaraan tak bisa melintas. Warga hanya bisa menyeberang menggunakan perahu atau kelotok.

Jembatan darurat pun segera dibuat. Tapi karena hanya dibuat dari kayu galam, situasinya tidak mudah. Apalagi ada banyak kendaraan muatan berat yang melintas. Salah satunya truk pengangkut karet PTPN XIII yang berangkat dari Desa Karang Bintang menuju tiga titik: Pelabuhan Trisakti Banjarmasin, Tambarangan, Kabupaten Tapin, dan Danau Salak, Kabupaten Banjar. Truk-truk tersebut nyaris melintas setiap hari.

Banjir waktu itu benar-benar berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat. Situasi lebih sulit karena akses informasi tak semudah saat ini. Pengguna gawai pun masih sangat terbatas.

Pasca-banjir besar, pemerintah langsung membangun dua jembatan beton di kawasan siring dan satu lagi di perbatasan Sungai Lembu dengan Pulau Salak. Dua jembatan ini menjadi jejak bersejarah bahwa ruas jalan di kawasan itu pernah putus total akibat banjir.

Sementara di wilayah perkotaan Pagatan, ketinggian air mencapai kurang lebih satu meter. Di Jalan Ahmad Yani, warga yang biasanya menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat beralih menggunakan perahu kecil.

“Saya ingat banjirnya cukup dalam, karena perahunya ngebut. Dulu dari Mattone mau ke pasar juga pakai perahu mesin tempel,” kata cucu Raja Pagatan itu.

Tempat ibadah tak luput dari terjangan air bah. Di mimbar Masjid Besar Al Jami, Pagatan, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa.

Kondisi itu makin diperparah karena air yang merendam Pagatan bersifat statis, sehingga butuh waktu lama sampai banjir benar-benar surut. Butuh lebih dari satu minggu sampai tanah mengering. “Setelah banjir cacing-cacing mati semua. Berarti, ‘kan, lama sekali,” imbuhnya.

Wilayah lain yang terdampak banjir besar pada  2006 adalah Kecamatan Satui. Saat itu ruas jalan poros di Desa Sinar Bulan putus total. Mobil tak berani melintas. Ada banyak kendaraan roda dua yang hanyut dibawa arus.

Sejumlah tokoh masyarakat Satui pernah mencari tahu darimana kapasitas air sebanyak itu bisa sampai merendam Satui. Ternyata, menurut kesimpulan mereka, kiriman air tersebut berasal dari Sungai Walingin di Desa Jombang bagian atas. “Itu sempat kami cari sumbernya, ternyata dari Walingin,” kata tokoh masyarakat Satui, Bambang Sucipto.

 

Dalam kunjungannya ke kamp pengungsi di Kecamatan Kusan Tengah pada Senin, 10 Juni 2024 kemarin, Bupati Tanah Bumbu, Zairullah Azhar, juga menyinggung soal banjir besar yang terjadi pada 2006.

“Waktu saya menjadi bupati tahun 2006 juga pernah lebih besar,” katanya.

Yang terbaru dan masih menempel di ingatan adalah banjir yang terjadi pada 2018, 2019, dan 2021. Meski tak separah tahun 2021, tapi banjir di tahun 2018 cukup menghambat arus lalu lintas di jalan nasional hingga menyebabkan antrean kendaraan lebih dari satu kilometer.

Sementara pada 2021 disebut-sebut menjadi peristiwa bencana alam paling besar yang tak hanya meluluhlantahkan Tanah Bumbu, tetapi juga Barabai dan banyak daerah lain di Kalsel.

Salah satu potret banjir di Jalan Nasional Tanah Bumbu tahun 2018. Foto-Dok

Banjir di Pagatan tahun 1948

Berdasarkan cerita para sepuh di Pagatan, konon banjir besar pernah melanda kota tua ini pada 1948. Peristiwanya terjadi dua tahun setelah pertempuran legendaris 7 Februari.

Banjir terjadi saat masyarakat sedang merayakan bulan Maulid, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ketinggian air di wilayah perkotaan Pagatan kurang lebih satu meter. Kondisi lebih parah terjadi di kawasan bantaran sungai.

“Ini cerita dari om saya. Itu sama seperti banjir tahun 2006. Orang-orang pada pakai perahu kalau mau ke pasar,” kata Andi S Jaya.

Kalsel Langganan Banjir Sejak era Hindia-Belanda

Dokumentasi banjir di zaman Hindia-Belanda. Foto-Dok

Jauh sebelum itu, banjir besar ternyata juga pernah melanda kawasan Martapura pada 1932 dan 1937. Peristiwa ini sampai menyita perhatian koran-koran terbitan Hindia-Belanda.

Menurut Sejarawan Kalsel, Mansyur, pada 1932 ketinggian air mencapai satu meter, sementara pada 1937, ketinggiannya mencapai 3,7 meter.

Mengutip Radar Banjarmasin, banjir tersebut menyebabkan seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda, Dr. A. Hammarskjold di Martapura meninggal dunia.

“Saat itu koran de Nederlander, edisi 8 Juli 1937, memberitakan air bah berdebit tinggi. Banjir terjadi selama dua hari, 6 dan 7 Juli tahun 1937,” kata Mansyur.

Koran ternama Hindia Belanda lainnya, De T’d edisi 9 Juli 1937 tidak ketinggalan mengabarkan banjir yang terjadi di Afdeeling Martapoera memorak-porandakan banyak kampung. Rumah penduduk banyak yang hanyut tersapu banjir.

Wilayah lain yang sudah pernah dilanda banjir sejak dahulu adalah Amuntai dan Barabai. Dua kota ini disebut selalu terdampak banjir secara berkala.

***

Banjir memang terus terjadi dan ceritanya tak pernah berhenti. Saat ini masyarakat hanya bisa menunggu, kapan pemerintah dan orang-orang pintar di luar sana merumuskan program pengendali banjir yang nyata, tanpa motif, apapun bentuknya.

Penulis: Puja Mandela (pemimpin redaksi interaksi.co)

Author