INTERAKSI.CO, Jakarta – Sebanyak 36 direksi dari 29 persero BUMN diberangkatkan jauh ke Swiss untuk mengikuti Top Gun Leadership Camp Cohort 1 di IMD Business School, salah satu kampus bisnis elite dunia.
Program ini disebut-sebut sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan agar perusahaan pelat merah mampu bersaing di tingkat global.
Secara teori, investasi pada sumber daya manusia adalah pilihan tepat. Human capital menjadi modal utama yang bisa mendorong organisasi berkembang, lebih dari sekadar aset fisik.
Baca juga: Produksi Beras Nasional Naik 35 Persen, BPS Catat 2,77 Juta Ton pada Juli 2025
Riset McKinsey bahkan menunjukkan bahwa perusahaan dengan manajemen berkualitas memiliki peluang 2,8 kali lebih besar untuk bertahan dalam persaingan.
Dengan demikian, pembekalan ilmu kepemimpinan di Swiss bisa menjadi bekal berharga, asalkan pengetahuan yang diperoleh benar-benar diterapkan di tanah air, bukan hanya berhenti pada dokumentasi foto di Pegunungan Alpen.
Meski begitu, publik kerap menganggap “kelas dunia” seakan hanya bisa diraih lewat studi di luar negeri. Padahal, keberhasilan program kepemimpinan tidak semata ditentukan oleh lokasi, melainkan keseriusan belajar dan komitmen untuk membawa manfaat nyata bagi perusahaan dan masyarakat.
Dari sisi efisiensi, pilihan mengirim direksi ke luar negeri tentu mengundang pertanyaan. Jika tujuannya sekadar transfer ilmu, mendatangkan instruktur ke Indonesia atau menggunakan teknologi daring bisa menjadi alternatif yang lebih hemat.
Namun, apabila yang dicari adalah pengalaman menyeluruh di lingkungan global, keberangkatan ke Swiss bisa dimaklumi.
Yang sering jadi sorotan adalah standar ganda dalam prinsip efisiensi. Ketika menyangkut rakyat kecil, efisiensi kerap dijadikan alasan untuk memangkas subsidi atau anggaran. Tetapi ketika menyangkut jajaran direksi, efisiensi bisa dikesampingkan.
Intinya, publik perlu memahami bahwa pendidikan kepemimpinan memang penting. Leadership bukan hanya bakat alami, melainkan keterampilan yang dapat diasah.
Namun demikian, transparansi biaya, tujuan, dan ukuran keberhasilan program juga sama pentingnya. Tanpa itu, program ini rawan dianggap sebagai sekadar liburan berjubah akademik.