INTERAKSI.CO, Jakarta – Nilai tukar rupiah terus menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Penguatan ini didorong oleh optimisme pasar terhadap kemungkinan tercapainya kesepakatan perdagangan baru antara Amerika Serikat dan sejumlah negara Asia.

Menurut analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, penguatan rupiah dan sejumlah mata uang Asia lainnya didorong oleh optimisme pasar.

Hal ini terkait dengan negosiasi tarif yang tengah berlangsung antara AS, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

“Rupiah dan mata uang Asia pada umumnya menguat terhadap dolar AS oleh harapan kembali terjadinya kesepakatan baru negara-negara Asia dengan AS,” ujar Lukman di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Bitcoin Bertahan di Atas US$ 100.000, Analis Prediksi Bisa Tembus US$ 150.000 di 2025

Negosiasi Tarif dan Strategi Asia

Mengutip laporan Anadolu Agency, Jepang diketahui telah mengusulkan kerja sama dalam sektor pembuatan kapal sebagai bagian dari tawaran untuk mengurangi tarif AS.

Saat ini, Negeri Sakura menghadapi tarif sebesar 25 persen untuk ekspor mobil dan 24 persen untuk produk lainnya ke AS.

Sementara di Korea Selatan, tarif tinggi dari AS dianggap memicu dampak ekonomi serius. Korsel saat ini menikmati penurunan sementara tarif dari 25 persen menjadi 10 persen, yang berlaku hingga 8 Juli 2025.

Pemerintah Korea menegaskan akan melanjutkan negosiasi secara tertib dan berkelanjutan.

Adapun Taiwan terkena tarif AS sebesar 32 persen yang juga telah diturunkan menjadi 10 persen untuk periode yang sama.

Presiden Taiwan, Lai Ching-te, menyatakan pihaknya tidak akan melakukan pembalasan, melainkan akan memperluas impor dari AS serta mendorong investasi dan kerja sama yang bisa membantu mengurangi defisit perdagangan AS.

Isu Manipulasi Mata Uang dan Tuntutan AS

Lukman menambahkan bahwa ada dugaan AS mensyaratkan negara-negara mitra dagangnya untuk menguatkan mata uang nasional mereka sebagai bagian dari kesepakatan dagang.

Hal ini diyakini sebagai strategi Washington untuk menghindari praktik manipulasi nilai tukar.

“Ada asumsi spekulasi apabila untuk mencapai kesepakatan, AS mewajibkan negara-negara yang bersangkutan untuk menguatkan mata uang mereka,” kata Lukman.

Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk pengawasan terhadap praktik negara-negara yang selama ini disebut AS sebagai currency manipulator, terutama yang memiliki surplus perdagangan besar terhadap Negeri Paman Sam.

Dengan dinamika yang sedang berlangsung, penguatan rupiah bisa terus berlanjut apabila sentimen pasar terhadap kesepakatan dagang semakin positif.

Namun demikian, investor tetap disarankan mencermati perkembangan negosiasi dagang dan kebijakan moneter global yang dapat memengaruhi stabilitas nilai tukar regional.

Author