Oleh: Zulfan Fauzi
BEBERAPA waktu yang lalu di siang yang terik, ketika sedang asyik scroll medsos, saya menemukan sebuah link berita yang menggelitik. Berita tersebut tentang sekumpulan anak muda yang rela antre berjam-jam hanya untuk membeli sebuah boneka bernama Labubu.
Sepintas tidak ada yang luar biasa dari boneka tersebut, selain tampilannya yang berupa monster tapi lucu itu. Sebelum akhirnya saya menemukan sebuah fakta bahwa Lisa yang merupakan member Blackpink dan memiliki fans yang tidak sedikit itu pernah memposting dirinya tengah memeluk boneka tersebut.
Dan akhirnya saya paham bahwa tindakan yang seakan unfaedah seperti ngantre berjam-jam hanya untuk membeli boneka tersebut, bermuara pada keinginan untuk menjadi seperti artis idolanya serta tidak ketinggalan tren.
Dasar FOMO! Ketik saya di kolom komentar. Namun, akhirnya saya hapus, karena takut diserang Kpopers yang sama brutalnya dengan suporter bola itu. Tapi ternyata beberapa waktu yang lalu saya pun pernah FOMO juga.
Saya pernah melaukan tindakan unfaedah yaitu mengunduh Threads hanya karena ingin terlihat update dan ikut-ikutan tren. Dan nyatanya bahkan kurang dari seminggu, setelah utak-atik medsos terbaru tersebut sebentar, akhirnya dengan kesadaran penuh, saya hapus medsos tersebut dari ponsel saya.
Di era keberlimpahan informasi serta intensnya penggunaan medsos seperti sekarang, barangkali bukan hanya saya dan sekumpulan anak muda yang rela ngantre berjam-jam untuk boneka Labubu yang terserang FOMO.
Ketakutan karena tidak tahu, tidak kebagian, takut terlewatkan, hingga tidak update terhadap apa yang sedang ramai dibicarakan seakan-akan sudah menjelma jadi bencana alam.
Barangkali Bukan Mental Health, Tapi…
Pada tahap awal menjadi FOMO mungkin bukan masalah. Dan menjadikan hidup orang lain yang nampak ideal di medsos sebagai laku hidup yang ingin kamu jalani pun sebenarnya tak apa. Namun, masalah itu tiba ketika dirimu mulai terus-terusan membandingkan dirimu sendiri dengan orang lain, dan tidak nyaman menjadi diri sendiri.
Kamu pun mulai kehilangan dirimu sendiri. Rasa cemas mulai datang, dan semakin lama kecemasan itu makin menguasai dirimu, hingga menjelma menjadi rasa takut.
Kamu pun takut merasa tertinggal, takut tidak update, takut terlewatkan sesuatu. Kamu pun mulai meraskan cemas yang berlebihan. Ketika kamu mulai terus-terusan merasa tertinggal, maka rasa cemas akan mewujud seperti tiupan angin topan yang akan membuat dirimu seperti pohon yang tercerabut dari akarnya alias kehilangan pondasi untuk berpijak dan berpikir dengan logis.
Takut karena tidak seperti orang lain akhirnya membuat dirimu cemas, hingga merasa rendah diri karena tidak sebaik hidup yang orang lain jalani. Ketidakpuasan ini akhirnya menjelma jadi depresi yang akan berbahaya jika tidak segera ditangani.
Dan mungkin FOMO itu belum dikategorikan sebagai mental health, tapi bisa saja ia menjadi semacam penanda awal, sebentuk umbul-umbul, sebuah pintu gerbang menuju sesuatu yang disebut penyakit mental.
Menjadi JOMO
Kalau FOMO (Fear Of Missing Out) alias takut kehilangan momen, takut ketinggalan apa yang “sedang rame”, maka JOMO adalah antitesisnya.
JOMO (Joy Of Missing Out) alias menikmati momen ketinggalan momen yang sedang tren. Dan bila dimaknai lebih sederhana maka JOMO bisa diartikan sebagai laku hidup untuk tetap bisa merasa bahagia meski tidak tahu atau tidak mengikuti segala hal yang kekinian.
Hidup di dalam dunia yang dilipat alias tidak ada sekat pembatas lagi antar negara, bahasa, ataupun budaya seperti masa sekarang, menjadikan kita mudah sekali kebanjiran informasi–penting dan yang tidak penting. Dengan merebaknya penggunaan internet dan medsos, hal yang tengah ramai dipergunjingkan di belahan bumi yang lain, cukup seperkian detik saja sudah bisa diketahui di belahan bumi yang lainnya lagi.
Di dunia yang serba FOMO ketika mengikuti tren serta menjadi up to date adalah fardhu ain. Dan ketika tidak bisa mengikuti tren atau terus ketinggalan segala macam yang lagi hype membuat dirimu merasa gagal serta terasing dan terabaikan dari kehidupan sosial yang ideal menurut standar medsos.
Mungkin ini saatnya kamu untuk detoks. Kamu perlu diruqyah! Kamu perlu penawar untuk hidupmu yang kelelahan karena terus-menerus mengejar pengakuan orang lain yang entah kenal atau tidak kamu kenal itu.
Bayangkan saja kamu rela mengorbankan waktu, tenaga, dan uang untuk sesuatu yang sebetulnya tidak kamu butuhkan. Misalnya saja, kamu bukan Swifties alias penggemar Taylor Swift tapi kamu rela mengorbankan tabunganmu untuk ikut war ticket.
Atau seperti ini, kamu sesungguhnya penyuka lagu-lagu dangdut dari penyanyi lawas seperti Rhoma Irama serta Rita Sugiarto, dan cuma tahu satu dua lagu dari Coldplay, itu pun tidak hapal liriknya–karena berbahasa Inggris. Tapi karena butuh pengakuan, dan haus akan itu, kamu rela mengorbankan waktu, uang, dan bahkan dirimu sendiri.
JOMO adalah sebuah jalan keluar, ia sebuah laku hidup yang bisa dijadikan pilihan untuk kamu yang sudah terlampau lelah karena FOMO.
Seperti yang dilansir oleh hellosehat.com, hal yang ditekankan dalam menjalani hidup yang JOMO adalah kita memberikan lebih banyak waktu, tenaga, perhatian, dan juga emosi untuk hal-hal yang bisa memberi kepuasaan untuk diri sendiri tanpa merasa terbebani.
Menjadi JOMO berarti kamu tidak lagi perlu merespons tekanan sosial yang membuat kamu merasa harus ikut terlibat dengan tren masa kini. Dengan menjalani laku hidup JOMO kamu bisa memanfaatkan waktu untuk bersantai dan menyadari bahwa tidak segala hal yang sedang ngetrend itu harus diikuti.
Untuk mulai menjalani gaya hidup JOMO, hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah mengenal dirimu sendiri, lalu tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan dan butuhkan.
Kedua, mengurangi penggunaan medsos, karena medsos adalah sumber utama dari munculnya FOMO, ketiga berani berkata TIDAK! yang artinya kamu berani untuk tidak mengikuti apa yang menjadi keinginan orang lain atau yang tengah tren saat ini, apalagi jika itu sesuatu yang membuat dirimu tidak nyaman.
Dan keempat adalah bersyukur yang artinya kamu fokus dengan apa yang kamu miliki, mengakui kelebihan dan kekurangan dirimu, serta mengabaikan apa yang sudah kamu lewatkan.
Melakoni laku hidup JOMO setidaknya akan membuat hidupmu sedikit lebih lambat, ini seperti mengambil jeda dalam kalimat agar maknanya bisa mudah tersampaikan. Kamu jadi tidak lagi tergesa-gesa dan kelelahan karena tuntutan tren yang begitu cepat berganti. Dan yang paling penting, kamu menjadi lebih mengenal dan tahu apa yang kamu perlukan.